Pendamping(an)
Sesiang itu langit berwarna biru seperti biasanya. Meskipun sedetik kemudian, arakan awan-awan kelabu membuatnya menjadi abu-abu. Suasananya tak mudah ditebak, seperti hati yang senang, kemudian dijatuhkan hanya dalam waktu sepersekian detik secepat kilat yang menyambar sore harinya. Bee, hari ini akan kuceritakan tentang seorang gadis yang terjebak dalam keragu-raguan.
Sesiang itu, senyumnya tak berhenti merekah. Ada satu hal yang membuatnya bahagia sejak semalam. Seseorang. Ya, seseorang yang dikaguminya akan bersama dengannya seharian. Bukankah itu menyenangkan?
Gadis itu menghubunginya, tapi yang dihubungi sudah siap di depan sebuah gang. Bukan perihal menunggu lagi, tapi kali ini ia yang ditunggu. Lidahnya kelu, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Senyum itu… menakjubkan. Demi Tuhan, terik matahari diabaikan olehnya. Padahal, itu bukan terik matahari yang biasa, tapi super panas untuk siang itu.
10…9…8…7…6…5…4…3…2…1… Hijau! Ya, lampu merah. Gadis itu menghitungnya dengan seksama, sekaligus menghitung detak jantungnya yang mulai tidak beraturan karena gugup.
Satu jam.
Lelaki itu berbicara banyak hal. Gadis itu selalu tersenyum, senang. Apapun yang dibicarakan, ia terpesona.
Dua jam. Langit mengelabu. Tetes gerimis menghiasi pertemuannya hari itu. Ia berjalan di belakang, sedangkan lelaki itu mengejar momen dalam lensanya.
Sampai di tempat yang sama. Hujan hampir mengguyur seluruhnya, hanya saja belum deras. Soal langit, ia suka langit yang seperti itu. Teduh; serupa matanya yang siap membunuhmu kapan saja.
Getar! “Kamu dimana?” sapanya. Hujan menderas, mengaburkan suaranya. Gadis itu menjawab, menuju suatu tempat lain. “Ya sudah, nggak apa-apa. Maaf ya, aku tadi ninggalin.”
Gadis itu tersenyum kala suara itu menyapa di telinganya. Ada nada khawatir di balik suaranya yang tersamar hujan.
Empat jam berlalu. Gadis itu mulai membenci hujan yang menderas. Kilat yang menyambar-nyambar sejak tadi ternyata memberi pengaruh buruk. Bukan hanya pada sekitar, tapi pada dirinya. Ia ingin pulang.
Akhirnya ia pulang, tidak dengan lelaki itu. Bening-bening kaca di matanya hampir tumpah. Bagusnya, semua itu tersamar oleh hujan. Sedih; batinnya menipis diraut sunyinya malam tanpa bintang.
Purwokerto, 18 April 2014.
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?