Sumber: Film Indonesia |
A coffee shop struggling to pay their debts, while at the same time maintaining their principles.
A/N. This is my first movie review. Don't judge me, if you don't know me so well. I just try to write different things from commonly I did. Believe or not, I was very very late watched this movie. It was 1:39 AM and I've just spent a cup of coffee. So, this movie will make you also want to drink a coffee. Hope you enjoy it.
---
Filosofi Kopi, sebuah kedai kopi di Jakarta yang hampir mengalami kebangkrutan karena si empunya memiliki hutang peninggalan dari ayahnya. Jody (Rio Dewanto) adalah pemilik dari kedai Filosofi Kopi. Bersama Ben (Chicco Jerikho), Jody berusaha membayar hutang ayahnya dengan mengubah toko kelontong menjadi kedai kopi. Film saduran dari sebuah buku berjudul sama karya Dewi Lestari ini cukup membuat saya terpikat. Apalagi kalau bukan soal judulnya yang membawa cita rasa kopi. Rilis pada tahun 2015 dan mendapatkan penghargaan Piala Citra untuk penulis skenario adaptasi terbaik.
Film ini dimulai dengan keadaan Filosofi Kopi yang ramai pengunjung. Ben, sebagai barista di kedai tersebut selalu memberikan filosofi pada setiap kopi yang dibuatnya.
Sumber: anggialfonso.com |
Berbicara soal kopi dan kedai kopi tentunya tidak terlepas dari petani kopi. Dalam film ini terlihat beberapa scene yang menampilkan petani kopi di sebuah desa yang mengolah biji kopi secara tradisional. Juga beberapa adegan penolakan petani kopi saat lahan perkebunan kopi digusur dan diganti menjadi lahan kelapa sawit. Padahal seperti kita ketahui, Indonesia merupakan penghasil kopi terbesar setelah Brazil, Vietnam, dan Kolumbia (Sumber: Republika 2015).
Kembali pada film, Jody pada saat itu kelimpungan untuk membayra semua hutang ayahnya yang benrilai 800 juta. Satu-satunya jalan keluar yang bisa diambilnya hanya dengan menjual ruko Filosofi Kopi, namun ia tidak ingin usaha yang dibangunnya menjadi sia-sia. Di sini, Jody sempat berdebat dengan kakaknya mengenai penjualan ruko tersebut. Kemudian, kakaknya mempermasalahkan gelar yang sudah Jody dapat agar bisa bekerja menjadi pegawai.
"Lu, kan, nggak harus usaha, nggak harus dagang. Kerja lah sama orang sekali-sekali. Lu kan, lulusan luar negeri, jadi professional pasti cepet deh dapet kerja hari gini." (00:05:14)
Melihat percakapan itu, seolah-olah kakak Jody membatasinya agar tidak menjadi wirausaha. Sama seperti pada mata kuliah Kewirausahaan yang saya dapat semester kemarin bahwa seorang wirausaha seringkali dianggap sebelah mata, terlebih ketika ia memiliki gelar yang tinggi. Lulusan luar negeri kok dagang, mungkin begitu pikirnya. Padahal, dalam film ini Jody digambarkan sebagai keturunan Tiongkok (terlihat saat ia memasang patung kucing pemanggil rezeki--Maneki Neko di kedai Filosofi Kopi). Jelas, patung tersebut menjadi simbol, kan?
Tumbuh di antara kedai kopi zaman modern, tentunya orang lebih suka apa yang mereka inginkan juga ada di sana, salah satunya fasilitas Wi-Fi. Filosofi Kopi tidak punya itu.
Dilanda kebingungan atas masa depan Filosofi Kopi, Jody dan Ben seringkali berdebat. Perihal kedai mereka yang tutup saat jam makan siang, pilihan untuk memecat Nana (salah satu pegawainya), hingga mengganti gelas dengan cup untuk menaikkan keuntungan. Salah satu yang saya tangkap adalah Jody seringkali mengungkit kebaikan ayahnya pada Ben yang telah menyekolahkannya sehingga menjadi barista. Di titik ini, belum terlihat latar belakang Ben yang sebenarnya.
Suatu hari, datanglah seseorang yang membawa angin segar bagi keduanya. Sebuah tawaran sekaligus tantangan untuk membuat kopi paling enak di Indonesia untuk memenangkan tender. Tawaran bernilai 100 juta itu sempat menimbulkan keraguan bagi Ben dan Jody. Ben dengan sangat percaya diri menerima tawaran tersebut dengan syarat; si pemberi tantangan mau menambahkan satu nol lagi pada uangnya menjadi 1M, dengan konsekuensi jika ia gagal, ia akan memberikan orang tersebut dengan jumlah yang sama. Hal ini membuat Jody gusar.
Bersusah payah mencari racikan kopi yang pas, akhirnya Ben menciptakan Perfecto coffee. Keadaan keuangan mereka yang semakin menipis, membuat keraguan Jody semakin meningkat. Terutama ketika Ben masih dengan optimisnya meminta Jody untuk membeli kopi terbaik, berapa pun harganya.
Racikan kopi yang dianggap terbaik itu ternyata mampu dipatahkan oleh El (Julie Estelle), seorang pengamat kopi yang berkeliling Asia untuk menulis sebuah buku mengenai kopi. Ternyata kopi terenak menurutnya adalah kopi Tiwus yang ada di Ijen. Kepercayaan diri dan optimisme Ben seketika menurun. Sehingga mereka memutuskan untuk berkunjung dan mencicipi kopi Tiwus yang dikatakan oleh El.
Sumber: anggialfonso.com |
Kunjungan mereka ke rumah Pak Seno (Slamet Rahardjo), sang pembuat kopi Tiwus, membuat Ben tidak percaya bahwa kopi tersebut hanya dibuat secara tradisional. Ben, dengan kesombongannya, merasa bahwa dirinya tahu segala sesuatu tentang meracik kopi daripada hanya kopi buatan seorang petani kopi. Ia meminta untuk ditunjukkan bagaimana cara membuat kopi mulai dari awal penanaman. Di situlah masa lalu Ben mulai terungkap. Ayahnya seorang petani kopi, sehingga itulah yang membuat Ben terobsesi pada kopi. Namun, ada adegan dimana ibu Ben pergi pengajian dan kemudian meninggal. Saya masih penasaran mengapa ibunya meninggal.
Mengakui bahwa Kopi Tiwus memang kopi terbaik, Ben memilih untuk tidak menggunakan kopi Tiwus untuk racikan kopi terbaiknya. Ia menganggap apabila menggunakan biji kopi tersebut, maka yang layak mendapat uang tersebut adalah Pak Seno, bukan dirinya. Namun, Jody memberikan pandangan bahwa mereka akan membeli biji kopi dari Pak Seno, dan Ben-lah yang akan meraciknya. Ben sempat menolak, dan lagi-lagi, Jody mengungkit kebaikan ayahnya pada Ben. Ayahnya yang menyekolahkan Ben, uang ayahnya yang membangun Filosofi Kopi, uang ayahnya yang membuat mereka semua bertahan. Egois sekali ini si Jody.
Setelah memenangkan tender tersebut, Ben resign dari Filosofi Kopi dan kembali ke ayahnya di desa. Seperti yang saya bilang tadi, ada adegan penggusuran lahan kopi menjadi lahan sayuran, saat itu ayah Ben sudah menjadi petani sayur, bukan lagi petani kopi seperti dulu. Sebelum pulang ke rumah, Ben sempat berziarah ke sebuah makam. Saya pikir itu makam ibunya, tapi mungkin itu makam ayah Jody, karena ada lambang salib. (Tidak mungkin itu ibunya karena ibunya ikut pengajian. Hehehe). Saat pulang ke rumah, ayah Ben menceritakan kejadian saat ibunya meninggal. Ketika itu ibunya menggenggam sebuah kertas bertuliskan, "Kalau kamu tidak juga berhenti, anakmu juga pasti mati." Setelah membaca beberapa review, saya baru memahami bahwa ibu Ben meninggal karena pergolakan masyarakat soal penggusuran lahan kopi.
Well, Jody akhirnya menjemput sahabatnya hingga ke rumah dan mengajaknya kembali ke Filosofi Kopi. Ada adegan yang cukup manis di sini, ketika Jody mengatakan, "Kita tuh kayak otak sama hati. Gue cuma punya otak. Kalo kehilangan salah satunya, nggak bakalan bisa." Sebuah persahabatan yang kece kalau bagi saya; saling melengkapi.
Sekembalinya Ben ke Filosofi Kopi, kini Filosofi Kopi mengubah konsepnya menjadi kedai kopi keliling. So cool, right?
Film berdurasi 117 menit ini mendapat rating 7,2/10 di IMDb. Well, saya kasih 8/10 deh, meskipun saya belum baca bukunya juga. Saya suka aktingnya Rio Dewanto, sih. Hahaha. Kemunculan El dalam film ini saya anggap sebagai pemanis saja. Seperti di salah satu review yang mengatakan bahwa kehadiran perempuan di dalam film bersifat "menjual" film tersebut agar tampil lebih menarik.
By the way, thanks for already read this post until the end.
Sincerely,
Afrianti Eka Pratiwi.
Kamar Kos, dini hari dan belum ngantuk juga.
8 Oktober 2016, 03:31.
2 Comments
Kopi Tiwus itu sebenarnya ada apa tidak ya?
ReplyDeleteterima kasih dan salam kenal Mbak
Kayaknya sih ada hehehehe. Salam kenal juga kak :D
DeleteApa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?