Judul: Angan Senja & Senyum Pagi | Pengarang: Fahd Pahdepie | Penerbit: Falcon Publishing | Tahun Terbit: Februari 2017 | ISBN: 9786026051455 | Harga: Rp 85.000,-
Sebuah perpaduan musik dan
matematika yang menghubungkan takdir keduanya di masa depan. Infinity.
Pagi itu keraguan menghampiri
saya ketika ingin membeli buku ini dengan sistem preorder. Pasalnya, ada salah
seorang teman di Twitter yang berkicau mengenai sampul buku ini, yang katanya
seperti tidak orisinil. Sebagai orang yang awam di dunia desain dan grafis,
saya masa bodoh. Kalaupun sampul buku ini tidak orisinil seperti yang dikatakan
teman saya, itu urusan penulis dan penerbit. Pembaca, meskipun tahu dan kadang
sok tahu, tetaplah hanya bisa berkomentar dan memberi saran.
Akhirnya saya tetap membeli buku
ini dengan harapan yang cukup tinggi. Melihat dari buku Fahd Pahdepie yang
sebelumnya, saya amat sangat terpukau dengan bahasa yang ia tuliskan. Makna
filosofis yang selalu ada dalam setiap ceritanya membuat saya terkagum dan
berjanji akan membeli lagi karya-karyanya. Ya, mungkin baru dalam buku A Cat In
My Eyes (saat itu nama Fahd masih menggunakan Djibran, bukan Pahdepie seperti
sekarang) saya benar-benar merasa bahwa yang ia tuliskan dalam buku itu sungguh
masuk ke dalam sukma saya.
Buku ini, dengan judul yang saya
pikir bukan nama manusia, sungguh diluar ekspektasi saya. Angan Senja dan
Senyum Pagi adalah dua nama yang asing di telinga saya. Namun seiring membaca
buku ini hingga tamat, saya semakin terbiasa mendengar nama Angan dan Pagi.
Lagi-lagi hanya soal kebiasaan, sama seperti mencintai seseorang. Terbiasa
bersama bisa menimbulkan kenyamanan, kan?
Omong-omong soal nama tokoh, saya
pikir judul buku ini sedang menjelaskan bagaimana seseorang menemukan sebuah
angan pada suatu senja yang menimbulkan senyuman di keesokan paginya. Ya, itu
asumsi awal saya saat membaca buku ini. Ternyata, ini kisah dua orang remaja
yang bersinggungan dalam satu garis waktu dan terpisah hampir selama 17 tahun
lamanya. Sebuah kisah romansa yang tak terkatakan pada awalnya.
Buku ini rasanya jauh berbeda
dengan kumpulan cerpen yang saya sebutkan tadi. Tentu, sebuah novel akan
berbeda dengan cerpen. Pernah kapan hari saya membaca buku milik Fahd yang
berjudul “Jodoh”, meski hanya membaca seperempatnya, saya bisa tenggelam dalam
ikatan makna yang Fahd bangun dalam kalimat-kalimatnya. Buku ini bagus, hanya
saja saya tidak menemukan makna filosofis yang kaut seperti buku-bukunya yang
pernah saya baca.
Kecuali soal infinity… ketakterbatasan… Sebuah simbol dalam matematika yang
pernah saya kenal sebagai “tak terhingga”.
Sebab, sebuah hasil tak diketahui dengan jelas. Dan begitulah hidup Angan
dan Pagi yang seolah tak diketahui jelas ujungnya, kecuali Tuhan.
“Meskipun ada seseorang yang pernah mengisi hati kita… Apakah kita tidak boleh jatuh cinta pada orang lain dan membuat cerita baru untuk berbahagia dengannya?” (hlm. 287)
“Rasa cinta akan menemukan jalan dan muaranya masing-masing. Sekuat apapun setiap orang menahannya, sejauh apapun jalan yang harus ditempuh… Jika mereka ditakdirkan bersama dan saling mencintai, mereka akan bersama pada waktunya.” (hlm. 159)
---
Another notes from me and a bit spoiler.
Entah sebab apa pikiran saya
menolak memahami bahwa cerita yang happy ending terlihat terlalu dipaksakan.
Sama seperti buku ini, hati saya menginginkan sad or tragic ending. Bukan
karena saya tidak suka melihat tokoh yang bahagia, tapi apakah kebahagiaan dua
orang harus selalu diperjuangkan, sekalipun itu menyakitkan untuk orang lain?
Come on, this is just a fiction story. Ya, saya paham ini cerita
fiksi, tapi bukankah cerita fiksi kadang direpresentasikan dari kehidupan
nyata? Dan di realita, adakah seseorang yang hendak menikah kemudian
menyerahkan begitu saja calon pengantinnya kepada seseorang lain? Hm, jujur
saja saya tidak yakin akan ada yang seikhlas itu. Dan… adakah laki-laki sebodoh
Angan yang melamar Dini, demi melampiaskan sakit hatinya karena tak bisa
memiliki Pagi, dan berharap akan bahagia? Bullshit! Apakah ada perempuan serelaberkorban
Dini yang tiba-tiba merelakan Angan menikah dengan Pagi di hari pernikahannya?
Super duper kejadian yang tidak saya mengerti.
Tunggu, saya tahu si penulis
ingin menyampaikan maksudnya kalau “better late than never” kepada pembaca.
Apalagi ini soal hati dan perasaan. Orang-orang tidak mau menikah dengan yang
tidak dicintainya, karena dianggap tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Tapi,
bukankah kebahagiaan itu diciptakan? Dengan siapapun kita, apapun keadaannya,
bahagia akan ada ketika kita menciptakannya, kan?
So, makna bahagia kalian seperti
apa? Bisa tulis di kolom komen, ya.
RATE: 4/5
RATE: 4/5
Cileungsi, lagi semangat banget.
17 April 2017.
6 Comments
Ini bagooos ngereview bukuuuu :D besok ngereview film yaak :D
ReplyDeleteHahaha, insya Allah :D
DeleteBagus ya bukunya. Noted ah klo ke tobuk nanti cari judul ini.
ReplyDeleteLumayan lah mbaak. Bikin nyes nyes di hati :D
DeleteMenarik nih reviewnya.. ntar cari buku ini ah kalau ke toko buku..
ReplyDeleteSip :D
DeleteApa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?