Judul: Supernova #3: Petir | Pengarang: Dee Lestari | Penerbit: Bentang Pustaka | Tahun Terbit: Agustus 2014 | Tebal Buku: 306 hlm. | ISBN: 9786022910541
Re-read Supernova Series baru sampai selesai di buku ketiga. Terbilang lama karena sejak ngantor 8 jam, waktu membaca saya hilang sampai 75%. Sepulang bekerja biasanya saya bisa langsung tidur karena mata sudah lelah di depan laptop. Otomatis saya lebih memilih mengistirahatkan mata dan badan daripada memaksakan membaca, meski hati saya ingin cepat-cepat menyelesaikan baca buku kelima dan masuk ke tahap final di buku Intelegensi Embun Pagi yang masih tersegel sejak tahun lalu.
Oleh karena demikian, marilah kita menuju titik awal dari pembahasan buku Petir yang saya suka banget tokoh si Elektra. Berharap dipanggil dengan logat bule, nama Elektra malah jadi turun pasaran karena orang Bandung memanggilnya "Elektrak", ya dengan huruf K di belakang yang dibaca seperti kalau kita memanggil "Bapak". Tinggal dengan seorang ayah yang berprofesi sebagai tukang betulin elektronik; kakaknya, Watti, juga bernasib sama seperti dirinya dalam hal penamaan. Mungkin ayah mereka ini memang terinspirasi dari James Watt, sang penemu listrik itu.
Bagian yang saya suka dari buku Petir adalah Eleanor. Rumah besar peninggalan Belanda yang menjadi ladang mencari uang keluarga Wijaya. Rasanya saya ingin punya rumah sebesar itu, tapi kalau tinggal sendiri sih saya nggak mau. Oh iya, keluarga Wijaya ini adalah keluarga keturunan Chinese. Sehingga sejak Elektra kecil, ia selalu dapat olok-olok dari teman-temannya. Sampai dia dewasa hal itu masih sering didapatkan. Tapi emang dasar si Elektra cuek, jadi weh bodo amat.
Meski orang Cina dianggap bisa berdagang dan menjadi kaya, beda sama Bapaknya Elektra. Punya usaha kecil-kecilan dalam bidang elektronik ternyata nggak bikin mereka jadi orang kaya. Hal ini yang bikin Elektra bingung karena uang jajannya nggak naik-naik. Lucunya, Elektra dan Watti manggil bapaknya dengan sebutan "Dedi", pembahasaan Daddy yang sangat Indonesia sekali. Keheranan karena usaha Dedi nggak menghasilkan banyak uang, bikin Elektra gemes. Makanya ketika bapaknya meninggal, ia langsung ngitung semua data yang ada di buku hutang bapaknya. Dan... ternyata memang seharusnya mereka punya uang lebih dari 17 milyar (atau triliun) dari banyak orang yang berhutang. Mantap!
Setelah Watti memutuskan menikah dan pindah agama, Elektra hidup sendirian di Eleanor. Belum kerja, luntang-lantung. Nggak tau mau ngapain. Sampai dia akhirnya ketemu ibu Sati yang bikin kekuatan dia muncul lagi. Elektra bisa nyetrum!
"Elektra, yang menjadi persoalan bukannya apa yang kita tanyakan. Tapi, bagaimana kita bisa mendengar jawaban." (hlm. 122)
Satu lagi ide yang saya suka dari buku ini adalah soal berwirausaha. Dari jaman belum kenal internet sampai akhirnya Elektra kerja sama bareng Kewoy dan Mpret buat bikin warnet di rumahnya yang super gede itu. Jatuh bangum bikin usaha sampai akhirnya Etra (panggilan dari Elektra) punya banyak temen.
Dari membuka warnet, Etra juga belajar mengalirkan kekuatannya untuk pengobatan orang lain dibantu ibu Sati. Well, ya, ini keren banget menurut saya. Sampai saya ingin juga punya kekuatan macam si Etra yang bisa nyetrym orang agar supaya nggak mikirin harus kerja apaan. Hahaha.
Satu tokoh lain yang saya suka tentu saja si Mpret. Karena dia digambarkan punya otak bisnis yang brilian, tapi tetap low profile dan nggak jadi sombong meski punya banyak duit. Saya salut sama orang-orang model begini. Suka bantuin orang lain, ngasih saran ini itu, tapi nggak lantas "meminta balas budi" atas apa yang dia kasih. Jadi, saya suka banget sama karakter Mpret alias Toni ini.
"Setiap orang punya potensi dalam dirinya, Elektra. Setiap orang sudah memilih peran uniknya masing-masing sebelum mereka terlahirkan ke dunia. Tapi, setiap orang juga dibuat lupa terlebih dulu. Itulah rahasia besar hidup." (Hlm. 155-156)
Daaan, tentu saja ending buku ini gantung karena jawabannya ada di buku keenam yang belum saya baca. Next, ah!
Rate: 4/5
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?