Judul: Kala | Pengarang: Stefani Bella (hujanmimpi) & Syahid Muhammad (eleftheriawords) | Penerbit: Gradien Mediatama | Tahun Terbit: Cetakan Ketiga, September 2017 | Tebal Buku: 348 hlm. | ISBN: 979-602-208-155-5
Kita adalah sepasang luka yang saling melupa.
Selain dari judul buku, saya selalu bisa tertarik dengan sebuah buku dengan ilustrasi sampul yang unik. Dan buku ini termasuk salah satu yang bisa menarik saya dari visual sampulnya. Pertama, dari segi sampulnya entah kenapa malah mengingatkan saya pada motif tenun dari Timur Indonesia. Padahal gambar sampulnya berupa, apa ya ini nyebutnya, bulu? Dengan motif berwarna-warni? Yah, pokoknya semacam itu dan saya suka.
Sederhana, bukan? Warna sampulnya yang hitam juga bikin saya makin-makin jatuh hati. Terlihat kesan kelam yang dipadukan dengan kalimat pembuka di atas. Sudah terasa sakitnya perpisahan, ya? Saya sih merasanya demikian.
Mengingat akhir-akhir ini mood baca saya lagi kayak roller coaster, saya sangsi bisa menyelesaikan buku ini dalam waktu singkat. Dan tenryata benar, saya selesai dalam dua minggu. Sungguh waktu yang panjang untuk sebuah buku yang sebenarnya nggak tebal-tebal amat.
Barusan saya sempat diskusi sama Kak Indi setelah ia memposting informasi bahwa buku Kala dan Amorfati (sekuelnya) akan dicetak ulang dalam waktu dekat. Jadi, isi diskusi singkat itu memang tentang penuturan isi buku yang terlihat kentara sekali perbedaannya. Buku ini memang ditulis oleh dua orang, laki-laki dan perempuan. Mungkin inilah permasalahan utama mengapa gaya bahasanya bisa sangat berbeda antara si tokoh laki-laki (Saka) dengan tokoh perempuannya (Lara).
Jujur, membaca bagian punya Saka di awal-awal buku sungguh bikin saya pusing. Entah kalimatnya yang terlalu berbelit atau memang saya yang lagi-lagi tidak mengerti. Sampai di beberapa paragraf milik Saka, saya cuma bisa memberikan komentar, “Oke, ini kalimatnya bagus, tapi maksudnya apa ya? Kok aku nggak ngerti sama sekali?”
Berbeda ketika saya membaca bagian milik Lara yang kalimatnya mengalir khas Kak Bella yang menuliskannya dengan puitis tapi tetap sederhana dan mudah dinikmati. Saya lebih bisa memahami kalimat-kalimat yang diluncurkan oleh Lara dibanding punya Saka. Mohon maaf, Mas Syahid. Hahaha.
Tapi, dari tengah cerita sampai ke akhir, saya sudah bisa menikmati bagian Saka secara keseluruhan. Kali ini kalimat-kalimat dan gaya bahasa tokoh Saka sudah bisa seimbang dengan tokoh Lara. Jadinya saya lebih mudah meresapi dan menghayati alur cerita yang mereka buat dengan perandaian semesta yang menciptakan pertemuan dengan teramat mudahnya.
Relate. Satu hal yang mungkin bisa saya simpulkan dari buku ini. Mengingat pertemuan dua tokoh ini berawal dari luka masing-masing sampai akhirnya mencoba bermain peran yang diatur oleh semesta.
Secara karakter, mungkin benar yang dibilang Kak Indi, bahwa Saka dan Lara adalah dua orang yang egois yang saling mengisi kekosongan satu sama lain. Lara dengan keteraturannya dan menginginkan sekitarnya serba teratur, sedangkan Saka dengan kebebasannya dan tidak suka kebebasan itu diusik siapapun. Secara realita, seharusnya mereka berdua nggak akan pernah bisa bersatu. Karena mereka punya dua prinsip yang berbeda dan nggak akan bisa lebur kalau nggak ada yang mau mengalah.
Mengalah, lagi-lagi kita akan bicara tentang pemakluman. Tentang pengorbanan ketika dua orang manusia berusaha menjalin hubungan di atas perbedaan yang ada. Bertahan atau tidak, tergantung sejauh mana pemakluman bisa memanipulasi pikiran kita dengan dalih pengorbanan.
Nggak, saya nggak bilang itu nggak mungkin. Tapi melihat realita berdasarkan pengalamanan, semuanya akan serba sulit dan serba salah di banyak sisi. Menjadi egois akan jadi ancaman buat hubungan, membiarkan pemakluman berlanjut juga punya potensi yang sama. Bumerang buat masing-masing pribadi.
Sungguh, buku ini menyimpan banyak kata-kata puitis yang membuat saya ingin menyimpan semuanya. Entah karena memang lagi relate atau bagaimana, tapi seisi buku ini memang benar-benar bikin saya seperti berkaca pada pengalaman yang sudah lalu. Perihal ditinggalkan-meninggalkan, memaknai luka, sampai sebuah pertemuan yang singkat tapi berkesan.
“Namun, demi hidup yang tak pernah ada pemberhentian, semua mata rantai yang rusak atau terputus harus selalu digantikan. Mereka yang terlepas dan tergantikan tidak akan hancur dan terlupakan. Mereka akan tetap melanjutkan fungsinya dalam peran yang berbeda.” (hlm. 14)
Membaca kutipan tersebut saya mengingat kalimat seorang teman tentang barang yang rusak harusnya diperbaiki, bukan malah dibuang begitu saja. Sama seperti hubungan yang koyak, harusnya bisa diperbaiki alih-alih diberhentikan begitu saja.
Kalimat favorit saya ada pada bagian Saka, yang selalu saya maknai secara terbalik dengan alasan tertentu.
“Aku yang pernah bercerita tentang luka malah memberinya luka yang sebenar-benarnya.” – Saka. (hlm. 15)
“Aku dan Lara bersinggungan dalam satu garis waktu dengan kecepatan yang berbeda. Karena, kecepatan yang berbeda akhirnya semesta mengizinkan kami bersinggungan dalam waktu yang sama. Hingga akhirnya kami saling menarik dalam kecepatan masing-masing untuk menyesuaikan.” (hlm. 177)
Secara keseluruhan, buku Kala bisa kalian nikmati dan rasakan sendiri sensasinya. Ambyar? Sudah pasti. Galau? Ya jelas. Apalagi kalau yang pernah relate alias pedekate sebentar langsung jadian. *eh gimana? Ya, pokoknya baca sendiri aja kalau mau tau ceritanya, saya mau baca lanjutannya ini. Apakah si Saka dan Lara bakalan jadi dua manusia egois apa gimana. Nanti kita ulas suka-suka lagi, ya.
Bye!
Jangan lupa membaca!
Cileungsi, 13 Februari 2020.
18:33.
4 Comments
untuk saat ini, mood baca gue lagi buruk banget uy.
ReplyDeletemalah, hampir setahun udah jarang banget buat baca novel gitu. lebih sering baca self develop gitu. hahah
tapi, abis baca sedikit tulisan darii buku ini malah pengen baca lagi. dan mau nulis lagi. ehe
mohon bimbingannya, wi
Mood baca gue juga lagi naik turun banget ji hahaha. Makanya cuma bisa baca yang ringan-ringan.
DeleteSemangat baca dan nulis lagi ji!
Oke, ini bakal jaid buku yang akan saya hindari. wkwkwk.... bukan karena langsung menuduh gak bagus setelah review ini, melainkan dari tema cerita dan contoh "quotes" yang ada. Kayaknya saya serings ekali tidak cocok dengan buku yang setipe itu.
ReplyDeleteKalo buku kumcer semacam bidadar yang mengembara kemarin itu ya lumayan cocok, dan, hei... saya tidak membeli buku di bookfair kala itu karena sebenarnya saya mau membeli di sana bersama orang lain lagi. Biar terkesan ada tanya "gimana menurut kamu" dia bilang bagus, terus diambil, jaid bisa ada momen ikut saran dia gituuuu...
*Np: Saya emang rada jenuh dengan kisah2 dan kalimat romantis saja, sih
Hahahaha. Ini karena mood baca saya lagi ga bener aja makanya butuh bacaan yang ringan dan bikin senyum-senyum sendiri aja karena gemas.
DeleteNdapapa kalo kamu ndasuka. Wkwk
Oh jadi itu alasannya kamu tidak membeli buku waktu kita kesana. Ternyata ada agenda lain ya. Baiklah wkwk.
Jenuhnya kenapa nih? Apa karena sudah terlalu sering sampe bikin muak? Hahaha
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?