Saya ingin menepati janji menulis review yang tertunda sebab kemalasan tak terelakkan. Juga perasaan-perasaan gundah yang terlalu lama mendekam sampai tak mau menulis apa-apa. Bagi saya, menulis haruslah dengan rasa. Kamu akan bisa membaca semua hal, tetapi belum tentu merasakan apa yang dituliskannya.
Sama halnya membaca buku puisi ini. Saya memilih malam sebagai waktu untuk menyendiri dan membacanya sampai tuntas. Walau terjeda, saya berhasil menyelesaikannya dengan menyeret diri saya ke lubang sumur kematian dan kesedihan bukan main. Saya sampai menyerah untuk berpura-pura baik-baik saja dan menuntaskan buku ini dengan penuh sesak di dada.
Perayaan Lahir, judulnya, tapi yang saya temukan adalah potongan-potongan puisi sedih bahkan soal kematian. Saya jadi ingin membuat buku tandingan berjudul "Perayaan Kematian" agar isi buku ini bisa disandingkan dengan kalimat-kalimat suram yang menyakitkan seperti yang saya rasakan.
Ada total 50 puisi yang ditulis secara apik oleh Nishaaj dan semuanya saya suka. Namun, seperti yang pernah saya tuliskan dalam ulasan singkat di akun instagram saya, menyukai satu puisi berjudul "Pemicu Bunuh Diri" adalah murni keinginan sendiri. Saya merasa puisi ini benar-benar relate dan menyentuh ujung dasar perasaan saya yang sungguh ingin menyingkirkan kesepian di kepala saya.
"Apa kesepian mempercepat kematian?"
Tentu. Saya hampir membuktikannya dengan menyayat lengan kiri dengan cutter yang baru saya beli di tukang fotokopi. Bagusnya, saya tidak sampai bertemu kematian dan masih sempat menepati janji menulis ulasan ini. Kalau kamu melihat foto buku di ulasan ini dengan gambar kupu-kupu di lengan saya, itu sebuah upaya agar tidak lagi menyakiti diri sendiri.
Hari ketika Nishaaj menyarankan saya untuk membaca buku puisi ini pada malam hari dan sendirian, saya menurutinya. Ternyata yang magis itu benar-benar terjadi. Tulisan dalam buku ini merasuk begitu dalam sampai saya tidak tahu di batas mana saya akan berhenti menangis karena merasa terlalu sedih.
Tetapi bagaimana pun juga, puisi-puisi Perayaan Lahir memberi saya perspektif baru.
Katanya, puisi yang baik adalah puisi yang mudah dipahami maksudnya meski implisit sekalipun. Nishaaj menggunakan bahasa yang sederhana dalam puisinya. Juga membuatnya terasa singkat, tapi sebagai pembaca saya tahu apa yang ingin disampaikan. Walaupun di beberapa puisi saya harus membaca dua sampai tiga kali untuk memahami maksud dari puisinya. Bukan berarti itu buruk, diksi yang ia gunakan juga cukup mudah dipahami dengan majas-majas yang bervariasi.
Ada satu puisi yang saya suka dari segi diksi. Judulnya Sepasang Mata di Balik Kaca.
Hijau menyambut. Kendaraan berhamburan.
Aku yang sedari tadi di belakangmu semakin kau tinggal. Kau melesat dengan cepat, yang secepat itu pula tiba-tiba tubuhmu terpental, terpelanting pada aspal kering.
Kau basahi aspal itu dengan merah. Matamu terbelalak. Aku mendekat, kuihat matamu sekali lagi, dan kau sudah tidak di sana lagi.
Sebuah puisi yang tragis mengingat saya juga nyaris ketakutan karena melihat seorang ibu dan anak balitanya terlindas kontainer sesaat setelah saya pulang sekolah. Saya sempat mengira itu ibu dan adik saya. Membaca puisi itu bikin saya merinding. Walau kemudian seringkali saya menjadi orang yang berada tepat di belakang pengendara yang kecelakaan.
Saya tidak tahu harus bicara apalagi tentang buku ini. Menurut saya, buku ini bisa kamu jadikan salah satu referensi ketika kamu ingin membaca buku puisi dan ingin sedikit-sedikit belajar puisi dengan diksi yang bervariasi. Sebab, gaya penulisan Nishaaj yang menurut saya punya ciri khas sukses bikin saya ingin menulis juga. Tapi entah kapan. Hehehe.
Saya nggak ingin memberi rate, karena puisi adalah soal selera dan penafsiran pribadi.
P.S.
Janjiku sudah kutepati. Terima kasih sudah mengirimkan buku ini padaku. Selamat menjalani hidup dengan baik. Semoga sehat selalu, Pa Nishaaj. Kita nggak akan bisa kembali ke semula, sebab waktu terus berjalan maju, kecuali fiksi. :)
Senin yang hujan deras di Jakarta
Mei 2021, 20.08
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?