Ia adalah denyar yang kutunggu setiap kali telepon berdering. Debar yang kunanti setiap kali hari pertemuan tiba. Ia beresonansi dengan rindu dan menyembunyikan apa-apa yang menjadi gelisah. Ia adalah hal paling kusyukuri setiap kali aku berdoa dan meminta untuk ia tetap tinggal dan memilih bersamaku sampai nanti, sampai entah kapan.
Aku menyukai keteraturan ini, begitulah seharusnya perasaan bermula. Lembut, pelan, dan tertata rapi. Kata orang, cinta yang terlalu menggebu itu tidak baik, maka dari itu kami memulainya dengan pelan dan sederhana. Bahkan sampai hari ini, aku masih tetap ingin banyak bersyukur bahwa apa yang kutemukan di dalam dirinya adalah semua yang bermula dari keinginanku dalam alam bawah sadar.
"Pokoknya kalau sama aku sudah pasti paket lengkap," katanya setengah menyombongkan diri. Meski kesal, aku tetap mengakui bahwa kenyataan itulah yang aku butuhkan.
Dalam perantara doa menuju Sang Pemilik, aku sangat jarang menyebutkan ciri-ciri fisik untuk pasangan. Kupikir, apapun bentuknya akan kuterima setelah hal-hal lain yang "wajib" dalam kriteriaku sudah terpenuhi.
Suatu hari, aku bertemu banyak orang sebelum dia. Rata-rata yang menjadi favoritku adalah lelaki tinggi, kurus, berkacamata, dan bisa fotografi. Dan kriteria itu bertahan cukup lama di pikiranku. Meski pernah bertemu beberapa yang tidak masuk kriteria dan aku tetap mencobanya, jauh di lubuk hati terdalam aku enggan memiliki tujuan ke arah pernikahan.
"Aku sedang berpikir, dari dulu sepertinya aku memang suka dengan laki-laki yang bisa foto," kataku suatu waktu.
"Kamu mah cocokologi terus sama aku."
Entah memang karena preferensi atau apa, aku merasa ia punya nilai yang lebih daripada hanya sekadar bisa foto. Ia passionate untuk semua hal yang ia sukai. Pernah suatu malam ia meneleponku dengan muka kusut masai dan bilang bahwa ia sedang overthinking untuk pekerjaannya sekarang, ia takut tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Padahal aku tahu, ia sangat-sangat mumpuni di bidang itu jika serius belajar.
Aku bukan seorang motivator, tapi mendengarnya pesimis justru membuatku ingin terus mendorongnya untuk berpikiran positif. Sebab, realitanya, ia memang bisa melakukan itu. Dan hasil yang ia kerjakan dalam 1 hari ternyata bagiku bagus sekali.
Ia berangkat dari banyak hal tak terduga. Karir, sifat dan sikapnya, perilakunya, semua hal yang ada dalam dirinya adalah bagian lain yang harus kupahami sedetail mungkin. Ini sedikit mengingatkanku pada Bapak yang keras dan tegas, juga persoalan dengan berjuang dari bawah saat keluarga kami tak punya apa-apa.
Similarity
Membentuk kesamaan itu sulit, karena manusia memang diciptakan berbeda. Di beberapa telepon permulaan kami justru menemukan persamaan yang entah darimana asalnya. Kupikir, perbedaan kami sebagai sulung-bungsu sudah cukup membuat jarak yang terlalu jauh, ternyata justru hasilnya sangat tidak terduga. Kami sevisi dan semisi dalam pandangan soal keuangan, juga sepemikiran dalam pola asuh anak.
Iya, kami sudah bicara sejauh itu walau masih dalam bentuk keinginan-keinginan pribadi. Satu hal yang aku ingat waktu itu adalah saat ia bilang, "Aku nggak ingin anak menjadi investasi orangtua." Aku merasa tertohok, juga merasa ia adalah partner yang tepat untuk diajak membangun peradaban rumah tangga kami kelak.
Hal-hal receh lain yang mungkin menjadi kesamaan walau sebenarnya tak sama adalah golongan darah, jidat yang lebar, rambut tipis, dan jari-jari tangan yang justru akan melengkung ketika diluruskan dengan tekanan. Kau tahu kan kalau hormat bendera kita harus meluruskan jari-jari di sebelah pelipis? Jari-jari kami justru melengkung ketika kami dengan semangat memberi hormat. Dan lucu sekali menemukan kesamaan untuk hal receh semacam ini.
Hal-Hal yang Ditakutkan Ketika Akan Menikah
Menikah adalah keputusan seumur hidup. Baik aku maupun dia tentu ingin menikah hanya satu kali seumur hidup. Oleh sebab itu, menemukan orang yang cocok untuk diajak bicara, sepemikiran, dan mau bekerja sama menjadi salah tiga poin yang harus ada untuk membangun rumah tangga. Kami berdua sepakat, tidak perlu menjadi cantik/ganteng karena fisik akan berubah seiring berjalannya waktu.
Aku selalu merasa insecure karena aku tidak secantik orang lain, tapi lagi-lagi kalimat yang melegakan justru datang dari dirinya. "Kamu akan cantik di mata orang yang tepat. Udah, kamu tuh cantik buat aku." Sehingga, aku nggak pernah merasa minder kalau bersamanya meski tanpa make up sekalipun. Aku tahu ia ingin aku cantik, dan akupun demikian, tapi selama tidak ada penuntutan berlebihan, aku berusaha cantik untuk diriku sendiri. Dan dengan pernyataan terbuka semacam itu, aku merasa bahwa aku dihargai.
Sama halnya dengan bobot tubuh. Aku lebih berat 4kg darinya, itu sebabnya ia seringkali memegang lemak di lengan dan betisku sambil bilang, "Duh, panggilan sayangnya ganti jadi 'ndut' ya?" dan berakhir dengan tabokan di lengannya.
Ketika akan menikah ada banyak ketakutan yang muncul di kepalaku, salah duanya adalah bagaimana kalau suamiku nanti tidak mengizinkan aku bekerja? Bagaimana kalau suamiku nanti tidak mau membantu pekerjaan rumah? Ini akhirnya yang menjadi screening question dalam setiap memilih pasangan.
Dengannya, aku tahu bahwa ia adalah orang yang akan siap bekerjasama denganku dalam hal apapun, termasuk soal mengizinkanku bekerja dan membantu pekerjaan rumah. Bukan hanya mendengar darinya tapi juga dari keluarganya bahwa ia memang dibesarkan tanpa memandang remeh pekerjaan rumah yang seringnya dianggap pekerjaan perempuan.
Suatu hari aku memberitahunya bahwa di Twitter ada sebuah twit yang bilang kalau menyapu dan mengepel adalah pekerjaan perempuan. Kutanya padanya kenapa ia mau melakukan pekerjaan rumah? Bagaimana kalau ada yang bilang jika itu adalah pekerjaan perempuan? Dan ternyata jawabannya jauh lebih memuaskan.
"Coba pola pikirnya diubah. Kalo aku berpikir ini kan rumahku, tempat tinggalku, jadi nyapu dan ngepel adalah caraku untuk merawatnya."
Seketika aku langsung, "Mas, nikah deh yuk! Hahaha"
Aku selalu suka cara berpikirnya. Itulah kenapa akhirnya aku mau melanjutkan banyak hal dan merencanakan segudang hal dengannya.
---
Kami berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan. Dari sekian banyak rencana, tentu kami tetap meminta pada Sang Pemilik untuk tetap bersama, kalau bisa sampai akhir hayat.
Malam selepas isya, ia memutuskan untuk pulang lebih awal setelah mengantarku. Kami terbiasa mengobrol sedikit saat ia hendak pulang dan sudah berada di atas motor. Ia membuka tangannya dan bilang, "Sini tangannya." Kutangkupkan tanganku di atas tangannya dan ia menggenggamnya erat. Ini kali ketiga ia memegang tanganku.
"Aku masih kangen sama kamu."
"Iya." Kujawab singkat karena tidak tahu harus menjawab apa. Aku belum terbiasa diberi perlakuan semacam ini, juga tidak tahu bagaimana cara meresponnya, hingga hanya itulah yang aku keluarkan.
Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika pasanganmu berkali-kali bilang kalau ia masih ingin tetap bersamamu dan tidak mau pulang. Hahaha. Rasanya seperti ingin menahannya di rumah.
Senyum terkembang bahkan usai ia akhirnya benar-benar pulang. Aku bersyukur bahwa aku punya seseorang yang bisa kuandalkan dan sayang padaku tanpa banyak syarat. Menutup tulisan ini, aku cuma ingin bilang kalau aku sangat-sangat bersyukur sudah dipertemukan dengannya.
Sebelum kita sampai, kita masih harus tetap bertahan untuk belajar memahami dan mewujudkan apa-apa yang kita rencanakan di depan. Semoga segalanya dipermudah oleh Allah, ya. Aamiin.
With love,
Tiwi.
Rumah,
Maret 2022.
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?