Judul: Sekosong Jiwa Kadaver | Pengarang: Ita Fajria Tamim | Penerbit: Falcon Publishing | Tebal Buku: 390 hlm. | Tahun Terbit: Cetakan pertama, Juli 2023 | ISBN: 978-602-6714-84-8
Santai dan mengalir adalah perasaan yang saya rasakan ketika membaca buku ini. Melihat tebalnya buku, saya agak skeptis dapat menyelesaikan buku ini dengan durasi yang cepat, mengingat belakangan saya masih sangat lambat dalam menghabiskan satu buku. Namun, buku ini berbeda, kegelisahan Rayya, tokoh utama dalam buku ini, membuatku merasa ikut terlibat di dalamnya. Kebimbangan, cita-cita, dan motivasi yang tidak saya temukan dalam diri saya dulu membuat saya sedikit terobati ketika membaca cerita Rayya yang berhasil meraih mimpinya untuk kuliah Kedokteran.
Cerita dimulai ketika Rayya berkuliah di Fisipol di salah satu universitas di Jogja, namun hati kecilnya tetap menginginkan untuk kuliah kedokteran dimanapun itu. Ia lantas mencoba beberapa kali tes masuk kedokteran hingga akhirnya diterima di salah satu universitas di Bali. Nyatanya tes masuk ke Fakultas Kedokteran tidak semudah yang dibayangkan, ia harus berkali-kali menerima kegagalan dan hampir menyerah.
Tak sendirian, ia bersama sahabatnya, Sofia, yang juga ingin pindah jurusan terus berusaha agar mereka berdua diterima di jurusan yang mereka inginkan. Perjuangannya tak sia-sia, usahanya membuahkan hasil yang manis. Semua ini berkat motivasi dari salah satu pahlawan yang menginspirasinya, Dr. Tjipto Mangunkusumo.
Latar Belakang Pesantren
Rayya merupakan cucu seorang kyai besar dan pendiri salah satu organisasi islam di Indonesia. Dengan demikian hidupnya sangat tertib dalam koridor agama. Kemudahan demi kemudahan juga kerap didapatkannya sejak kecil. Memegang teguh nilai-nilai agama yang ditanamkan sejak kecil tak membuat ia kesulitan hidup di lingkungan pesantren. Namun, semua hal berbeda saat ia mulai berkuliah di Bali. Menjadi minoritas membuatnya mendapat beberapa perlakuan berbeda.
Saya bahkan ingat salah satu teman saya yang berkuliah di Bali, menurutnya sangat sulit menemukan makanan halal di Bali pada saat itu. Ternyata hal ini pula yang dirasakan Rayya saat berkuliah disana. Ia harus benar-benar mencari warung masakan halal yang bisa ia konsumsi mengingat mayoritas masyarakat Bali menganut agama Hindu.
Hidup Rayya begitu berubah, dari yang tadinya berada di Pulau Jawa, semua kebutuhannya bisa didapatkan dengan mudah, kini ia sendirian di Bali dan harus berjuang sendiri pula tanpa bantuan keluarga.
Kuliah Kedokteran
Kuliah kedokteran ternyata berbeda jauh dengan kuliah di Fisipol. Rayya benar-benar harus beradaptasi. Di Fisipol, ia banyak mendapatkan jam kosong, mahasiswa yang santai, dan banyak waktu luang yang bisa ia nikmati. Namun, di Kedokteran berbanding terbalik 180 derajat. Jadwal kuliah, praktikum, semua sudah terjadwal tepat waktu, bahkan di luar itupun ia harus mengikuti banyak kegiatan mahasiswa untuk mengisi kekosongan waktunya. Rasanya waktu 24 jam saja tidak cukup untuk dirinya.
Membaca kegiatan Rayya sebagai mahasiswa baru di Fakultas Kedokteran cukup membuat saya tersenyum. Sebab, dulu saya juga sempat memiliki keinginan untuk berkuliah di kedokteran, sayangnya saat itu kondisi mengharuskan saya memilih jurusan lain dan terdampar juga di FISIP. Mempelajari anatomi manusia, menghafal satu persatu modul dan menghadapi ujian blok, membuat saya ikut terhanyut. Benar-benar perjuangan yang sangat berat untuk menjadi seorang dokter.
Saya bisa melihat bagaimana padatnya jadwal kuliah Rayya hingga membuatnya dan para mahasiswa lain hanya bisa tidur 3-4 jam dalam sehari saat menjelang ujian.
---
Lika-liku kehidupan Rayya selama di Bali juga dibarengi dengan kekagetannya akan dunia luar yang keras. Ia yang terbiasa hidup di lingkungan pesantren, tak sanggup menerima fakta bahwa pergaulan di Bali begitu bebasnya hingga tak ada batasan sama sekali. Namun, ia sendiri terus berusaha menjaga batasan, terutama jika menyangkut lawan jenis. Beberapa kali ia mendapati seorang teman laki-lakinya menaruh perasaan padanya, tapi ia tetap menganggapnya sebagai sahabat tanpa bisa memberi lebih. Sebab, ia tak diajarkan untuk berpacaraan, apalagi saat ini tujuannya adalah untuk menempuh pendidikan.
Membaca judulnya saya sempat bingung apa itu kadaver? Ternyata kadaver adalah jasad manusia yang biasa menjadi bahkan praktikum untuk di fakultas kedokteran. Biasanya kadaver didapatkan dari jasad yang tidak dikenali identitasnya, sehingga disumbangkan ke beberapa fakultas kedokteran untuk bahan penelitian para mahasiswa.
Benar-benar buku yang dibuat mengalir dan cukup relate dengan kegiatan mahasiswa. Saya pun bisa menikmatinya karena penasaran dengan endingnya. Jujur, saat melihat dr. Ita Fajria Tamim, sang penulis bukunya, saya sempat mengira bahwa ini adalah kesah nyata beliau, tapi ya saya tidak tahu pasti apakah ini kisah nyata dibalut fiksi atau bagaimana. Yang jelas saya suka dengan caranya bertutur melalui buku ini.
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?