Matahari menembus celah kamarku,
pertanda subuh sudah lewat. Jelas aku terlambat bangun untuk shalat subuh. Aku
mengerjapkan mataku, silau oleh sinar mentari itu. Aku beranjak dari tempat
tidur, kemudian menuju ruang tengah. Lengang. Tidak ada suara sedikitpun. Aku
menengok ke kamar Ibu, kosong. Pun dengan kamar Abang. Ibu mungkin pergi ke
pasar dan belum pulang, tapi kemana Abang? Apakah Abang ikut ke pasar? Tidak
mungkin, Abang tidak pernah suka bila disuruh Ibu ke pasar.
Aku ingat sekali pernah sekali waktu Ibu
menyuruh Abang ke pasar untuk membeli sekantung singkong. Hasilnya Abang memang
membawa pulang singkong, tapi tidak hanya sekantung melainkan setengah karung
sekaligus.
"Penjualnya tidak ada kembalian,
Bu," kilahnya sambil cengengesan. Ibu pun hanya menghela nafas melihat
kelakuan Abang. Aku hanya cekikikan saja.
"Baiklah kalau begitu. Karena kau
sudah membeli singkong sebanyak ini, maka setiap hari kita akan makan singkong
sampai habis! Padahal tadinya sisa uang pembelian singkong akan Ibu belikan
ikan asin, tapi sepertinya kau lebih suka makan singkong dengan garam saja,
Andi." Abang mendengus lesu mendengar ucapan Ibu. Aku pun demikian. Pasti
bosan rasanya setiap hari hanya makan singkong, baik direbus atau digoreng.
Sudah hampir tiga hari menu utama di
rumah kami adalah singkong. Meskipun membosankan, kami harus tetap memakannnya.
Abang mulai mengeluh tentang menu makan kami ini. Salahnya sendiri membeli
singkong hingga setengah karung. Kami memang hanya tinggal bertiga; aku, Abang,
dan Ibu. Ayahku sudah lama meninggal. Ibu bilang sih saat usiaku baru dua tahun
dan Abang lima tahun. Sekarang usiaku tujuh tahun-Abang sepuluh tahun, itu
artinya ayah meninggal lima tahun yang lalu.
Sibuk mencari ibu dan abang ke seluruh
sudut rumah, aku beranjak ke luar rumah. Siapa tahu mereka sedang di luar. Di
sebelah rumah ada Bu Nur yang sedang menyapu halaman.
"Bu, lihat Ibu dan Abang, nggak? Di
rumah nggak ada soalnya," tanyaku.
"Oh, Ibu nggak lihat, Anggi. Coba
ditunggu saja. Mungkin sedang ke pasar," jawab Bu Nur.
"Baiklah, terima kasih, Bu."
Aku kembali ke dalam rumah. Mungkin benar, Ibu dan Abang sedang ke pasar.
Mungkin Ibu akan membeli sesuatu yang besar hingga membutuhkan bantuan Abang.
***
Aku memutuskan untuk menyapu rumah saja.
Sepagi ini rumah masih berantakan. Mungkin Ibu buru-buru ke pasar tadi.
Meskipun usiaku masih tujuh tahun, bukan berarti aku tidak bisa mengerjakan
apa-apa. Sejak usiaku lima tahun, Ibu sudah mengajarkanku banyak hal tentang
pekerjaan rumah. Ibu bilang, "anak perempuan itu harus gesit juga mandiri.
Suatu saat ketika punya rumah, kau harus mengerjakan apapun sendiri. Jangan
pernah bergantung pada orang lain."
Saat aku sedang asyik menyapu rumah,
terdengar deru mesin motor di luar. Aku berlari ke luar, mungkin Ibu dan Abang
yang baru pulang dengan menumpang ojek. Betapa kagetnya aku ketika sampai di
luar rumah. Itu bukan suara motor tukang ojek, melainkan milik Pak RT yang saat
ini tengah memapah Ibu masuk ke dalam rumah. Terlihat pula Abang membantu memapah
Ibu yang kelihatan pucat dan lemah. Astagfirullah, apa yang terjadi dengan Ibu?
Aku menangis sejadi-jadinya.
To be continued.
Purwokerto, 1 Juni 2014. 19:52.
Ngantuk!
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?