Tanah merah di makam ibu masih basah, juga oleh tangisanku yang semakin lama semakin hilang bak ditelan mendung. Kesedihan menyelimuti hatiku dan Abang. Kulihat, Abang hanya sekali menangis. Sisanya ia berusaha membuatku berhenti menangis.
"Tidak ada yang abadi di dunia ini. Juga manusia. Umur seseorang hanya Allah yang tahu," ujarnya. Aku tidak tahu bagaimana Abang bisa sebijak itu. Entah kata-kata kutipan dari buku mana yang diambilnya, aku tidak memikirkannya.
Selepas kepergian Ibu, aku hanya tinggal berdua dengan Abang. Abang memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja saja untuk menghidupi kami berdua. Meskipun para tetangga sudah berbaik hati memberi kita bantuan dan melarang Abang untuk berhenti sekolah, Abang tetap pada pendiriannya.
"Kamu harus tetap sekolah, Andi. Kami semua sudah memutuskan akan membiayai sekolahmu dan adikmu dengan uang iuran kami," ujar Pak RT waktu itu.
***
Selama lebih dari lima belas tahun aku dan Abang hidup berdua di rumah peninggalan ayah dan ibu. Selulusnya dari SMA aku ikut bekerja untuk membantu Abang. Hingga pada akhirnya aku menemukan situasi yang sama seperti yang pernah aku alami saat usia tujuh tahun, dulu. Bedanya ini lebih tragis.
Sore itu ketika mendung asyik bergelayut pada langit, aku dikabarkan oleh seseorang dari rumah sakit bahwa Abang ada di rumah sakit tersebut. Aku kemudian bergegas sembari berdoa agar kemungkinan buruk tidak terjadi. Nyatanya, Allah lebih sayang pada Abang, sehingga Dia mengambil Abang secepat ini.
Aku menangis dalam diam. Seketika itu pula kata-kata terakhir Abang terlintas di benakku. Nasihat yang amat sangat membuatku bangga terhadapnya.
“Anggi, meskipun Ibu sudah tidak ada, Abang janji satu hal sama Anggi. Abang akan berusaha untuk biayain Anggi sekolah sampai tinggi. Jangan pernah berhenti bermimpi, tapi jangan pernah lupa buat mewujudkan mimpi Anggi. Abang akan melakukan apapun yang Abang bisa demi Anggi.”
Sejak saat itu aku bertekad akan mewujudkan mimpiku. Dan beberapa jam sebelum aku diberitahu kabar buruk ini, ternyata Abang sedang mendatangi sebuah perguruan tinggi. Surat penerimaan atas namaku tergeletak di sebelah tubuhnya yang membiru. Entah, kali ini apa makna perjuanganku ketika seseorang yang ingin aku banggakan sudah tiada.
END.
Purwokerto, 5 Juni 2014. 23:23.
Mepet, tapi abstrak.
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?