Menuju turun. |
Tulisan ini tidak akan banyak gambar karena memang kami tidak banyak mengambil gambar sewaktu di sana.
Ketika masih berada di Semarang, saya dan salah seorang teman SMA yang namanya Fajar berdiskusi via Whatsapp mengenai tempat wisata. Setelah saya bilang kalau baru saja mendaki Ungaran dan akan mendaki Merbabu, dia lalu mengatakan keinginannya untuk bisa naik gunung lagi. Ya walaupun katanya dia sempat kapok naik gunung.
"Eh lo pernah ke Gunung Batu, Wi?"
"Belom. Mau kesana? Yuk!" Ya saya terbiasa bertanya dan jawab sendiri.
"Ayok. Nunggu si Hae libur."
Nah, akhirnya keputusan kami berangkat ke Gunung Batu pada tanggal 2 September 2018 (kalo tidak salah ingat). Seperti orang-orang kebanyakan, kami membuat grup Whatsapp berjudul "Kepala Batu" yang hanya beranggotakan saya, Fajar, dan Haekal. Gunung batu ini terletak di Jonggol, lumayan dekat lah dengan rumah kami.
Setelah berdiskusi mau naik apa, berangkat jam berapa, kami sudah siap untuk bertemu di rumah Fajar. Awalnya saya mengira akan naik motor dulu ke rumah Fajar baru nanti bersama-sama berangkat, sebab tak satupun dari kami yang pernah ke Gunung Batu.
Pagi di tanggal 2 September—yang awalnya janjian jam 6 pagi—keberangkatan kami mundur hingga jam 8. Haekal ternyata menjemput saya dengan mobil serta tambahan satu anggota lagi yang akan ikut bersama kami: adiknya. Setelah itu kami meluncur menuju rumah Fajar.
Sampai di rumah Fajar kami hanya menjemputnya dan langsung berangkat karena sudah kesiangan. Katanya sih karena Haekal kesiangan bangun. Padahal saya dan Fajar sudah sempat mengingatkan malam sebelumnya agar ia bangun subuh.
Perjalanan menuju Gunung Batu dengan bantuan GPS terbilang cukup mudah. Jalanan khas gunung atau bukit yang berkelok-kelok juga kerap kami temui. Mobil Haekal pun melaju dengan cepat. Perjalanan sekita satu jam lebih sedikit terasa cukup menyenangkan karena diisi dengan obrolan.
Gunung Batu ini terletak di Kelurahan Sukamakmur, Kecamatan Sukaharja, Jonggol. Kami sempat salah belok karena mengikiti GPS dan papan jalan. Lalu memutuskan untuk bertanya ke warga sekitar. Ternyata jalur yang kami ambil sebetulnya merupakan jalur tembusan/alternatif, namun sulit dilewati mobil. Akhirnya kami diarahkan untuk melewati jalan utama yang biasa dilewati orang-orang.
Sekitar pukul 10, sampailah kami di gerbang utama wisata Gunung Batu Jonggol. Mohon maaf tidak memotretnya.
Parkir mobil di sana cukup mahal juga, kalau tidak salah ingat, sekitar Rp 50.000. Dikarenakan kami tidak tau dimana pintu masuknya, kami tentu bertanya dulu dong pada bapak-bapak penjaga di sana. Setelah dapat informasi yang akurat, barulah kami mulai berjalan.
Jalurnya sama seperti kebanyakan jalan ke bukit. Masih banyak ladang warga di sekitarnya. Namun, lama kelamaan, jalur berubah menjadi jalur berbatu cadas sampai kami tiba di pos 1. Ternyata pos 1 hanya kami tempuh dalam waktu 10 menit saja. Dan pos ini pun hanya berupa batu besar bertuliskan "POS 1" serta tanda panah yang mengarah ke pos lanjutan.
Di pos 2 inilah kami baru menemukan gerbang pendakian dan area parkir yang cukup luas. Namun sepertinya mobil tidak bisa lewat di jalur kami berjalan tadi dan bisa lewat jalur lainnya yang entah dimana itu. Fajar, Haekal, dan adiknya memilih makan dulu, saya mah ngeliatin aja. Hahaha.
Jam 11 kami akhirnya mencoba naik. Ternyata kami harus membayar tiket masuk sebesar Rp 15.000/orang. Harga yang lumayan mahal bagiku. Hehehe. Jalur pertama, kami langsung menemukan pepohonan yang cukup lebat dan saya suka. Jalurnya pun terbilang masih landai dan bisa dilalui dengan mudah. Gunung dengan ketinggian 875 mdpl ini biasanya bisa ditempuh dengan waktu 1 jam.
Gerbang - Camp Ground
Menuju camp ground, jalur semakin curam, ada beberapa tali tambang yang bisa digunakan untuk alat bantu memanjat. Saya cukup lelah, tapi masih bisa mengatur napas dengan cukup baik. Sedangkan Fajar dan Haekal, mereka terlihat "kaget" karena jarang melakukan olahraga semacam ini. Adiknya Haekal sih santai-santai saja.
Ketika sampai di camp ground, ada satu flysheet yang dibentangkan. Areanya cukup luas untuk 3-4 tenda, namun sayangnya banyak monyet berkeliaran di sana. Meski saya yakin, tempat ini bisa menjadi lokasi kemping yang asik karena view kota terlihat dari sini.
"Wi, istirahat dulu ya." kata Fajar.
"Iya, santai aja. Jalannya pelan-pelan aja."
"Sabar ya, Tiw, bawa pemula." Haekal menambahkan.
"Selow, gue juga jalannya lama. Santai aja, gak usah buru-buru."
Beristirahat selama 10 menit, kami melanjutkan perjalanan. Matahari sedang terik-teriknya ketika kami berjalan menuju puncak Gunung Batu yang terlihat sangaaaat curam. Saya dan adiknya Haekal (Hebron, namanya kalo gak salah dengar) berjalan duluan. Sedangkan Fajar dan Haekal di belakang. Terlihat sekali Fajar semakin kelelahan, namun kami tetap menunggunya meski ia bilang kami suruh jalan duluan.
Satu jam sudah kami berjalan sejak dari gerbang pendakian tadi, akhirnya sampai di titik sebelum puncak. Entah kenapa saya dan Fajar memilih tidak mendaki sampai puncak karena melihat curam dan terjalnya medan untuk ke atas. Haekal dan Hebron lanjut ke atas, saya dan Fajar menunggu di bawahnya.
Langit sedang biasa-biasa saja, tidak cerah, tidak pula mendung. Jadilah kami hanya berfoto-foto sebentar, lalu turun kembali. Ternyata turun lebih mengerikan, seperti biasanya. Dan waktu tempuh turun ternyata juga lebih cepat, hanya 15-20 menit.
Selesailah perjalanan kami. Semoga bisa trip bareng lagi, ya.
NB: Gunung Batu asik buat kemping ceria kalau lagi penat sama pekerjaan.
NB: Gunung Batu asik buat kemping ceria kalau lagi penat sama pekerjaan.
Cileungsi, 16 Desember 2018.
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?