September mungkin jadi bulan yang berat perkara melepaskan. Tetapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. September menjadi bulan baru untuk membentuk memori baru bersama orang yang baru. Tapi bukan itu juga yang akan saya bahas detail.
Pada sebuah kolom DM Twitter, salah seorang teman mengirimi saya sebuah tautan berisi ulasan sebuah serial berjudul Normal People. Saya belum menontonnya, tetapi secara premis sangat menarik. Sampai salah satu teman lain langsung menodong saya dengan kalimat,
"Tiw, lu harus nonton series ini sebelum FWB-an!"
Heh! Dia kira saya orang macam apa.
"Cepet nonton Tiw. Gue nonton ini inget elu. Marianne kayak elu banget."
Halo, Mbak Daisy Edgar Jones, sudikah Anda disamakan dengan saya? *ditabok*
Normal People series punya 12 episode yang semuanya bikin saya jungkir balik nontonnya. Nggak secara harfiah, tapi secara emosional. Bentar, series ini tayang di Hulu dan HBO, jadi bisa ditonton streaming, ya.
Bercerita soal Marianne dan Connell yang memiliki hubungan tanpa status meski keduanya sama-sama memiliki perasaan satu sama lain. Mereka nggak bisa bersama lantaran banyak hal yang membuat mereka seperti terbentur hal-hal yang tidak terlihat. Bukan hantu, bukan. Kita bisa sebut seperti kasta. Marianne ini anak orang kaya, ibunya Connell bekerja di rumah Marianne. Jadi ini salah satu faktor yang bikin Marianne dan Connell enggak bisa bersatu.
Belum lagi soal pergaulan. Marianne di SMA adalah anak yang kritis dan selalu mengutarakan pendapatnya walau itu akhirnya bikin dia nggak disukai murid-murid lain karena terlalu ceplas ceplos. Beda sama Connell yang adem ayem dan ngikut arus. Dia bisa dibilang anak gaulnya SMA, gabung sama anak-anak gaul, tapi nggak pandai mengutarakan keinginannya.
Di satu sisi, saya sendiri ngerasa kayak sebagian mirip Connell, sebagian lagi mirip Marianne secara sikap. Btw, karena saya terlanjur baper, jadi saya mau bahas beserta spoiler.
=========BATAS SPOILER=========
Episode-episode awal masih bikin saya menduga-duga ke arah mana hubungan Marianne dan Connell akan berjalan. Karena nggak ada clue sama sekali soal mereka akan jadian. Tapi secara emosi, saya bisa lihat kalau keduanya udah saling lirik-lirikan. Duh, pokoknya keliatan lah kalau dua orang punya ketertarikan. Gemes banget.
Karena nggak punya teman di sekolah, Marianne jadi penyendiri, tapi dia bukan tipe orang yang murung. Justru saya ngeliatnya lebih kayak bodo amat sama sekitar. Pun ketika di rumah. Dia malah sering curhat sama ibunya Connell dan Connell juga sering datang ke rumahnya buat jemput ibunya.
Herannya, Connell selalu bersikap pura-pura nggak kenal sama Marianne kalau di sekolah. Dan Marianne fine-fine aja dengan kondisi itu. Tapi... yang bikin saya kesel adalah waktu Connell dan Marianne udah mulai kissing dan mantap-mantap. Saya nggak ngerti kenapa Connell dan Marianne tetap pada kesepakatan untuk pura-pura saling nggak kenal di sekolah dan menganggap tidak terjadi apa-apa. Itu bikin saya ingat ke seseorang.
Well, series ini penuh dengan intimacy. Bukan cuma soal emosi, tapi juga adegan having sexnya yang melibatnya emosi dimana-mana. Jujur, saya takjub banget sama dua karakter utamanya yang jago memerankan adegan demi adegan dengan baik.
Di awal, saya bisa ngerasa gairah penasaran ketika Marianne baru pertama kali ciuman, dilanjut ketika dia having sex sama Connell yang juga untuk pertama kalinya. Dan yang saya salut adalah Connell paham consent banget! Dia nanya dulu ke Marianne apakah dia mau melakukan hal itu—having sex—atau enggak. Kalau pun jawabannya enggak, dia nggak akan nerusin. Good boy, Connell.
Kedua, saya suka pas ibunya Connell ngomelin Connell perkara kenapa dia bisa bersikap jahat—pura-pura nggak kenal sama Marianne—padahal Marianne setiap pulang sekolah selalu ke rumah Connell dan tidur sama dia. Jujur, saya disini juga nyesek dan ngerasa Connell kok ngeselin banget. Padahal harusnya dia bisa bersikap biasa aja kayak ke teman lainnya, tapi kenapa ini enggak?
TIGA FASE
Iya, series Normal People punya tiga fase usia yang dilewati dalam 12 episode. Pertama itu masa SMA, masa dimana Connell dan Marianne baru mulai dekat. Kedua, fase kuliah. Mereka akhirnya satu kampus meski beda jurusan dan awalnya nggak tahu satu sama lain. Ketiga, masa kerja dan terpisah negara.
Masa-masa struggle mereka ada pas masuk masa kuliah. Di akhir fase masa SMA Connell akhirnya sadar kalau dia cinta sama Marianne ditandai dengan adegan Connell nangis-nangis dan monolog di voice mailnya Marianne, "I really love you, Marianne." Lagi-lagi saya nyesek banget di sini karena kayak Connell nggak punya kesempatan lagi soalnya ya dia udah bikin kecewa Marianne dengan nggak ngajak Marianne ke prom night dan memilih ngajak cewek lain. Kan bgst.
Pas kuliah, Connell masih sama di tahun-tahun pertama. Mengikuti arus, tapi itu bikin dia nggak bisa berkembang di kuliahnya karena jarang mengutarakan pendapat. Dan... jeng jeng! Ketemu lagi sama Marianne di sebuah pesta. Mrianne udah jadi anak gaul, coy! Duh, aku bangga!
Saya jadi ingat diri saya sendiri yang dulu kuper, tapi sekarang alhamdulillah teman ada banyak. Hehehehe.
Relate dengan tokoh Marianne
Kayak yang udah saya cantumin di judul, saya benar-benar relate di banyak sisi dengan tokoh Marianne. Teman saya bilang, "Marianne ngingetin aku sama kamu. Dia berusaha banget untuk diterima dan melakukan hal-hal yang harusnya nggak dia lakukan." Well kalau dilihat secara detail, Marianne justru melakukan itu karena memang dia tau apa yang dia mau, kecuali ketika dia punya pacar fotografer yang doyan iket-iket.
Saya menyadari series ini lebih banyak sedihnya dibanding bahagianya. Series ini lebih menampilkan strugglenya hidup dibanding cuma senang-senang. Pertama soal sama-sama cinta, tapi memilih untuk jadi teman saja. Teman tidur, teman berbagi kisah, teman ngobrol, dan segalanya dalam definisi teman. Saya tetap bisa menerima konsep itu dikarenakan memang ada banyak hal di dunia ini yang nggak bisa berhasil hanya karena dua orang itu memilih untuk jadian.
Well, contohnya Marianne yang punya masalah keluarga, yang selalu dianggap nggak berguna sama kakaknya dan ibunya nggak bisa belain dia. Juga Connell dan merasa depresi karena sahabatnya meninggal dan dia nggak bisa melakukan apapun untuk menolongnya. Itu semua akhirnya jadi faktor yang menghambat hubungan mereka untuk bsia bersama.
Series ini lebih dalam daripada yang saya kira. Persis seperti kedalaman hati manusia yang nggak pernah kita tahu dasarnya. Sama kayak saya yang selalu mau ngejudge mantan saya jahat, tapi ya saya juga sadar dia bisa aja jauh lebih sakit daripada saya. Sama kayak saya ngejudge gebetan saya yang belum bisa move on, tapi setelah dipikir-pikir sayanya juga sama saja.
Menonton series ini saya kayak melihat diri saya dan mas gebetan di satu tempat dengan permasalahan yang beda. Kita sama-sama dekat, tetapi nggak beranjak kemana-mana dalam artian yang sebenarnya. Tetapi ya hidup emang kadang lucu, kita inginnya menjauh dan menyembuhkan diri sendiri, tapi akhirnya malah ketemu lagi ketemu lagi. Aneh.
I feel you, Marianne.
Ending series ini sejujurnya bikin saya makin sesak. Seolah, Connell dan Marianne memang dipertemukan hanya untuk saling support satu sama lain, tanpa berakhir dalam hubungan romantis. Meskipun mereka tahu perasaan masing-masing seperti apa bahkan ketika mereka punya pasangan sekalipun. Sosok mereka saling menghantui di masing-masing pasangan. Ini lebih buruk dari selingkuh menurut saya.
Juga ketika Marianne nanya ke Connell, "Will you tell me that I belong to you?" Dan Connell malah nanya balik, "What do you mean? I don't think that I want that", padahal posisinya udah lagi mantap-mantap. Tapi Connell langsung bangkit dan bilang jujur kalau dia nggak bisa ngomong kayak gitu. Marianne langsung badmood. Ya gimana ya, itu sih beneran kayak ditolak secara telak, anjir. Saya kalau digituin juga bakalan badmood makanya saya menghindari obrolan semacam itu, karena saya tahu saya nggak akan siap sama jawabannya.
Tapi poinnya, hati emang nggak bisa dibohongi. Mulut bilang cinta, tapi hatinya meronta entah pada siapa. Makanya, saya jadi tahu, saya nggak perlu memaksa siapapun untuk cinta ke saya, begitupun orang lain nggak perlu memaksa saya untuk cinta ke mereka. Karena kalau sudah cinta, jodoh, dan bertakdir, mau terpisah sejauh apapun bakalan balik lagi dan ketemu.
Sekali lagi, ada satu adegan yang saya suka sekali dari Marianne.
Pokoknya Normal People akan jadi salah satu series favorit saya karena setelah ini saya akan mendaulat diri jadi kembarannya Mbak Daisy Edgar Jones. Huehehe.
4 Comments
Karena belum nonton dan ngga suka spoiler, saya skip setelah baca premisnya. Normal People beberapa kali lewat ditimeline tapi tak saya hiraukan. Dari premisnya, yang menurut saya agak klise tapi oleh kebanyakan orang katanya bagus. Di Internet Movie Database juga ratingnya mantap. Karena lagi ngikutin serial, kayaknya ini akan jadi tontonan menarik bulan ini, sekaligus membuktikan asumsi saya 😁
ReplyDeleteJadi udah dicoba nonton belum? Huehehe. Emang keliatan klise tapi pengemasannya menurutku cukup oke sih.
DeleteMantap tulisannya mba.. Ikutan pake google adsense mba biar dapet passive income.. hehe..
ReplyDeleteOke makasih hehe
DeleteApa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?