Judul: Gadis Minimarket | Pengarang: Sayaka Murata | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Tahun Terbit: 2016 | Tebal Buku: 160 hlm. | ISBN: 978-623-0644-40-0
Gadis Minimarket menjadi buku yang ramai dibicarakan sekitar Agustus-September 2020. Bukan cuma saya yang akhirnya memilih melabuhkan hati untuk membeli buku ini, beberapa teman lain justru sudah lebih dulu membacanya. Itulah sebabnya saya teracuni secara tidak langsung dengan betapa banyaknya pembicaraan mengenai buku ini.
Mood baca saya masih tidak berubah. Saat itu saya baru saja menyelesaikan buku Landline dari Rainbow Rowell (bahkan ketika ini ditulis, ulasannya belum selesai saya buat) selama 2 bulan. Entah saya yang membaca terlalu lama, entah bukunya yang membosankan, atau memang saya tidak berhasil masuk dalam hubungan milik Neal dan Georgie.
Tetapi, membaca Gadis Minimarket adalah sebuah penyegaran. Saya ingat sempat bertanya kepada teman-teman melalui story WhatsApp, berapa lama saya bisa menghabiskan buku yang tipis itu? Ada yang menjawab paling cepat 2 hari dan paling lama satu tahun. Dan hasilnya, saya bisa menghabiskan buku itu hanya dalam waktu 5 jam saja.
Gadis Minimarket secara umum mengingatkan saya pada banyak tekanan di lingkungan. Tentang kenormalan yang katanya harus diikuti semua orang sebagai manusia. Tetapi siapa yang menentukan standar kenormalan itu sendiri? Bukankah normal pada orang A dan orang B berbeda? Bahkan dilihat dari karakteristik pun manusia sudah diciptakan berbeda-beda.
Lantas kenapa kita harus mengikuti standar normal yang sama?
Nah, sebelum terlalu jauh, kali ini saya juga memiliki teman ghibah lain yang merupakan teman SMP sekaligus SMA saya, dalam segmen Ghibah Buku Corner edisi kedua untuk membahas buku Gadis Minirmaket. Tapi, yang namanya ghibah, tentu kadang akan ngalor ngidul. So, enjoy the show, yaaa~
Tiwi: Assalamualaikum Wr. Wb. Yak, balik lagi nih akhirnya ghibah buku edisi kedua setelah jeda berapa lama karena nggak nemu partner ghibah yang pas. Huehehe. Kali ini mau ngajakin salah satu temen ghibah baru nih.
Halo, halo. Siapa nih? Boleh perkenalan dulu yaaa :D
Fajar: Waalaikumussalam Wr. Wb. Halloo perkenalkan Fajar Abdurrahman disini, temen SMA-nya Tiwi. Wait bentar pake gue-lo atau aku-kamu nih ya enaknya? Wkwk aku kamu aja dah biar enak dilihatnya. Agak grogi juga ya diajak ghibah buku sama blogger kondang yang banyak pembacanya kayak Tiwi ini. hehe. Tapi ayoklah!!
Tiwi: Wahahaha. Blogger kondang asal gak manipulatif aku nggak apa-apa sih. Btw, aneh juga ya pake aku-kamu karena biasanya gue-elo, tapi ya gak apa-apa juga.
Jangan grogi, Jar. Nanti aku sediakan air putih galonan biar kamu bisa minum sepuasnya, ya. Tuh ambil sendiri di pojokan. Huehehe.
Nah, sebelumnya aku mau tanya dulu nih. Fajar sekarang lagi baca buku apa? Dan sukanya genre buku kayak gimana?
Fajar: Sepertinya aku mencium bau bau sindiran terhadap seseorang nih. Haha.
Iya aneh sih tapi kan kalau ngeblog kayaknya lebih enak dibaca pake aku-kamu daripada gue-lo. Walaupun kalau ngobrol langsung biasanya pake gue-elo, tapi kesannya gimana gitu kalau di blog. Apakah ini yang di sebut jaga image? wkwk
Ah sudah kembuh sama air putih. Kalau mau gojekin Starbuck dong. Atau engga Janji Jiwa juga boleh deh. *Ngelunjak*
Buku ya? Baru aja selesai baca Buku Harry Potter yang pertama di Kindle. Telat sih emang, tapi ya dari dulu emang penasaran banget mau baca bukunya Harry Potter. Kalau genre buku yang disuka itu biasanya Genre Fantasy sih. Karena dari pertama kali kecanduan buku itu buku buku Fantasy semacam Eragon oleh Christoper Paolini atau buku bukunya Trudi Canavan kayak Priestess of The White. Aku biasa baca buku karangan penulis luar negeri sih, jadi kalau buku buku dari penulis dalam negeri malah kurang baca (maafkan aku). Oiya aku juga suka baca Light Novel dari penulis penulis Jepang. Anggap saja aku Wibu. Hehe
Tiwi: Beberapa temen bloggerku justru asik menulis dengan "gue elo". Tapi sebenarnya itu cuma masalah preferensi aja sih. Yaudah mari lanjutkan. Hahaha.
Waduh mintanya Starbak atau JanJiw nih. Saya tak sanggup, suhu 🙏🏻
Wah, bacaanmu banyak juga yaa. Aku justru jarang banget baca dari penulis luar negeri. Apalagi kalau dalam bahasa inggris. Harus mikir dua kali. Tapi asik bisa buat belajar juga.
Nah, karena kamu suka baca buku dari penulis Jepang, kali ini aku mau ngajakin kamu ghibah buku dari penulis Jepang juga nih. Kebetulan buku ini laris banget dari bulan lalu. Kayaknya sempet masuk top sales gitu di Indonesia. Bahkan kamu juga yang rekomendasiin buku ini ke aku. Hahaha. Judulnya Gadis Minimarket karya Sayaka Murata. Impresi awal gimana nih soal buku ini?
Fajar: Yasudah Starling (Starbuck keliling) juga gapapa deh Haha
Iya jadi dulu waktu awal tau buku Gadis Minimarket ini sebenarnya dari Twitter sih. Karena penasaran aku search bukunya dan baca sinopsisnya. "Dunia Menuntut Keiko untuk menjadi normal, walau ia tidak tahu "normal" itu seperti apa". Dari kalimat itu saja sudah cukup membuatku tertarik untuk membaca bukunya. Karena ya kadang aku juga merasa definisi normal menurut orang orang itu apa sih? Mapan di umur 25? Nikah sebelum umur 30? Punya penghasilan terus wajib cicil motor/mobil/rumah? Karena jujur saat ini aku tidak terlalu mempunyai keinginan "normal" seperti itu. Jadi kalimat sinopsis dari buku Gadis Minimarket tadi yang membuat aku berpikir "kayaknya perlu baca buku ini deh"
Tiwi: Starling tunggu ada yang keliling dulu, ya. Hahaha.
Ah, ya! Kalo membaca blurbnya emang menarik banget sih dipikir-pikir. Karena frasa "normal" bagi setiap orang kan beda, ya. Tetapi kadang kita sendiri selalu ngikutin standar "normal" dari lingkungan sekitar. Mungkin itu yang bikin bias. Aku sendiri beli buku ini selain dari rekomendasimu, juga atas rekomendasi beberapa teman yang bilang buku ini menarik. Tetapi kalau nggak baca blurb atau sinopsisnya aku malah langsung terpikir pada pegawai alfa atau indomart. Hahaha. Secara judulnya Gadis Minimarket.
Sebelum masuk ke plot ceritanya, apa kesan pertamamu pas baca judulnya, Jar? Apalagi kamu kan justru udah tau sinopsisnya kan.
Fajar: Justru aku begitu membaca judul buku ini mikir apa ini buku bakal kayak di anime anime genre slice of life karena banyak banget yang setting ceritanya di minimarket. Haha
Jujur kesan pertama awal awal baca sedikit kaget dan sedikit kecewa. Haha. Aku pikir saat membaca sinopsis dari buku ini, ekspektasinya adalah struggle seorang wanita umur 30 tahun yang ditekan oleh ekspektasi "normal" nya orang orang di sekeliling karakter utama, Keiko. Ternyata bukan.
Tiwi: Wah, kamu menaruh ekspektasi tinggi ke buku ini, ya ternyata. Kalo aku sendiri sengaja nggak mau kedikstrak apa-apa pas mulai baca. Melihat font yang gede-gede dan jumlah halaman yang sedikit aja aku senang karena pasti bisa menyelesaikan buku ini dengan cepat. Hahaha.
Bentar deh, kamu bilang kaget dan kecewa pas awal baca. Kenapa tuh? Aku sempet kaget juga, tapi kayaknya porsi kaget kita beda deh.
Fajar: Ya sepertinya memang berharap itu menyakitkan. Eh
Ya seperti yang aku bilang tadi, aku kaget karena karakter Keiko bukanlah karakter wanita yang berumur 30 tahun dan strunggle dari tuntutan tuntutan yang di berikan kepada Keiko. Justru Keiko disini digambarkan sebagai seseorang yang lack of empathy, bisa dibilang sosiopat gak sih? Cuma bedanya Keiko dengan sosiopat lainnya adalah Keiko berusaha untuk jadi Normal. Otomatis alur ceritanya akan beda dari ekspektasi awal saat aku mulai membaca buku ini. Tapi ya aku ada sedikit bayangan kenapa karakter Keiko dibuat Sosiopat. Wait aku gpp kan bahas ini? Ghibah buku berarti penuh elemen spoiler kan ya? Haha
Kalau Tiwi sendiri kaget karena apa?
Tiwi: Berharap memang menyakitkan, apalagi berharap pada orang yang salah. Huft~
Its okay to spoiler. Dalam ghibah buku, kita akan kupas tuntas sampai semuamuanya, termasuk opini-opini yang menjadi pertanyaan di pikiran.
Apa kamu pikir Keiko bakalan depresi dengan tuntutan keluarga? Tetapo kemudian dia malah seperti... yaudah aku begini, kenapa aku harus ngikutin yang lain?
Sosiopat, ya? Sebentar, aku mau googling dulu biar nggak mispersepsi.
*after googling*
Oke, aku udah dapat nih. Sosiopat lebih diartikan sebagai anti sosial, tidak mematuhi aturan di masyarakat. Kalau kembali ke bagian awal cerita, si Keiko sempat mukul temen sekolahnya pake sekop. Terus dia dimarahi, tapi dia nggak tahu kenapa dia dimarahi. Aku justru heran, kenapa asal usul Keiko yang "sosiopat" ini malah nggak ada penjelasannya sama sekali. Atau karena memang buku ini pake sudut pandang orang pertama ya? Jadi segala kebingungan Keiko nggak terjawab karena memang dia nggak tau jawabannya. Ini sih yang jadi kekagetanku. Semacam, kok nggak ada penjelasan apa-apa gitu.
Fajar: Mungkin karena emang tujuan Penulis bukan latar belakang dari asal usul Keiko jadi tanda kutip Sosiopat. Ini hanya opiniku saja sih ya tapi mungkin begini. Kalau keiko dibuat sebagai karakter wanita normal, alur ceritanya bakal mainstream. Semacam, "Oh okay kita semua mengalami itu". Tapi disini justru Penulis membuat Keiko sebagai karakter yang kurang empati dan terobsesi sama logika dan efisiensi.
Oleh karena itu selama dalam buku, Keiko sering menunjukan keheranan atas standar "normal" yang di pegang keluarga, teman dan masyarakat di sekitar Keiko walaupun sebenarnya Keiko gak salah salah amet. Inget adegan Burung mati? Ya Keiko gak salah kalau bilang mau masak burung itu buat keluarganya karena mereka suka makan Yakitori. Menurutku itu kepolosan seorang anak kecil. Tapi justru reaksi keluarga dan orang di sekitarnya itu yang membuat seolah olah Keiko adalah penjahat kecil tidak berprikemanusiaan. Disitu Keiko mungkin jadi merasa bersalah dan bertanya tanya Definisi dari Normal itu apa? Atau mungkin karena kejadian kejadian itu dia jadi Sosiopat?
Gimana yak jelasin uniknya buku ini? Kadang kebingungan Keiko itu yang bikin aku berpikir, "Lah iya bener juga si Keiko! Kok bisa bisanya kayak gini di bilang "Normal" padahal kayaknya gak masuk akal gitu. Emang apa salahnya kerja di minimarket? Terus wajib banget gitu kerja sebagai karyawan di perusahaan besar? Kenapa pada nuntut sih? Kenapa aku di cap aneh sih?"
Begitu. Make sense gak penjelasanku? haha sorry kalau ribet.
Tiwi: Nah, justru karena asal usul itu nggak dijelaskan, aku merasa kayak ada plot yang hilang. Walaupun, nggak semua kebingungan itu harus dijawab dengan gamblang, sih. Cuma aku sebagai pembaca merasa kurang terlibat karena ya pada akhirnya malah sama-sama bingung si Keiko ini kenapa.
Untuk kasus burung mati, aku justru mendukung si Keiko. Bukan karena dia nggak kasihan sama burung itu, tapi karena secara naluri tanpa memperhatikan norma emang harusnya itu burung bisa dimakan, kan? Tapi emang karena kesan jahat itu tadi akhirnya Keiko dianggap aneh. But, dia sama sekali nggak merasa bersalah, kan? Bukan yang tiba-tiba, "Eh emang aku aneh, ya?" Tapi dia cuma terus menerus bertanya, "Kenapa?"
Menurutmu sendiri, dengan konsep hidup yang dibangun dalam cerita ini gimana? Kan kita tau pekerjaan Keiko sebagai gadis minimarket mau nggak mau bikin dia "menduplikasi" kenormalan lingkungannya secara langsung tuh. Apakah ini emang hidup tuh begitu?
Fajar: Betul. Hidup tuh seperti yang digambarkan Keiko di dalam novel. Cuma beda persepsi aja. Keiko lebih kritis karena terus menerus mempertanyakan ini Normal atau tidak. Sedangkan kita di dunia nyata justru tanpa sadar ikut ikut aja standar normal yang diberikan orang lain? Ya gak? Coba kayak jaman kuliah, tiba tiba panik ngeliat orang udah pada lulus duluan. Udah lulus, dagdigdug liat temen udah pada kerja. Udah kerja, iri liat temen yang jabatan dan gajinya gede. Belum lagi panik saat temen temen satu sirkel udah pada nikah. Kita tanpa sadar terima aja standar "normal" orang lain. Padahal bisa aja kita berhenti sebentar, terus kayak Keiko, bertanya ke diri sendiri, Ini normal gak sih? Emang aku perlu banget ya kayak mereka? Begitu.
Btw, aku mau nanya nih wi? Gimana pendapatmu sama karakter utama laki laki idaman para wanita, Shiraha? Haha
Tiwi: Bener. Secara nggak langsung buku ini bikin kita belajar dong kalo standar normal harusnya bisa kita bikin sendiri, kan? Nggak harus ikut standar orang lain. Tapi gimana, ya. Susah juga. Kayak Keiko aja pada akhirnya dianggap aneh meski dia enjoy sama hidupnya. Duh aku mau banget sih kayak Keiko yang nggak peduli sama standar kenormalan orang lain.
Apa? Shiraha emang idaman para wanita? Stalker gitu, ih. Hahaha. Karakter Shiraha menurutku juga cukup mewakili manusia yang ingin lari dari standar masyarakat tapi nggak tau caranya. Alias ya dia akan keseret juga sekeras apapun dia mencoba. Keliatan kan dari karakternya yang misuh-misuh terus pas jadi pegawai minimarket, tapi dia nggak mau dikekang dengan standar normal manusia pada umumnya. Jadi menurutku, ya kita saat ini adalah perwujudan dari karakter Shiraha sih.
Fajar: Tapi walaupun Keiko sebenernya gak peduli sama standar normal orang orang. Dia tetep berusaha untuk jadi Normal, karena aku rasa dia tetep ngerasa gak nyaman di cap berbeda. Jadi Minimarket itu sebagai tempat berbaurnya Keiko. Karena keiko butuh rutinitas macem orang orang normal. Kayak kita kan? Dari kecil sudah biasa sama rutinitas. Sekolah dari pagi ke siang. Kuliah, Kerja. Semuanya itu rutinitas. Mungkin emang definisi Normal itu Rutinitas?
Hahaha Shiraha itu tipikal orang yang selalu nyalahin pemerintah kalau di indonesia
Tiwi: Hm, aku jadi ingat ini deh. Ala bisa karena biasa. Atau apapun yang jadi kebiasaan maka jadi sebuah rutinitas. Apakah akhirnya kenormalan itu berawal dari hal-hal yang dibiasakan, ya? Biasa untuk harus punya pekerjaan, biasa untuk jadi ramah pada sekitar, biasa untuk bertanya hal-hal tidak penting, dan biasa-biasa lainnya. Kita bahkan nggak dibiasakan untuk jadi "berbeda", kan? Makanya Keiko juga nggak nyaman ketika dia dipandang berbeda sama orang-orang, meskipun dia nggak merugikan orang lain. Gitu sih aku mikirnya.
Nah, tapi tandem antara Shiraha dan Keiko mantep juga menurutku. Kan Shiraha mau menikah supaya nggak dirusuhi orang kampungnya, pun Keiko juga bisa ambil keuntungan dari itu. Aku sempat lucu sih, kayak orang-orang lebih gembira saat tau Keiko tinggal bareng sama Shiraha dibanding dia tinggal sendirian. Ini miris banget, kan? Kayak jadi perawan tua tuh hina banget, padahal ya its her life.
Fajar: Betul. aku rasa ini kritik dan poin yang mau disampaikan sama penulis. Normal itu definisinya apa? Sama bagaimana kita menerima standar normal dari orang orang sekitar?
Iya itu miris banget banget saat Shiraha sama Keiko. Aku malah melihat Keiko dirugikan banget. Udah Shiraha Stalker, banyak hutang, merasa sok bener lagi wkwk.
Tiwi: Setujuuuu. Shiraha kayak parasit, yalord. Kesel banget liat karakternya yang sok bener. 😭
Buku yang tipis ini sebenernya bikin aku mikir banyak hal. Bener kayak yang kamu bilang, normal seperti apa yang bisa dibilang normal? Apakah pada akhirnya kita berani untuk jadi diri sendiri? Tanpa takut dicap aneh sama orang lain?
Jadi, kesan apa yang kamu dapat dari buku ini? And how about the ending?
Fajar: Kesannya apa yak? Kita semua Keiko. Berusaha menjadi normal, berusaha mencari rutinitas, berusaha agar tidak dipandang berbeda. Bedanya Penulis membuat Keiko dapet peran yang tidak enak agar kita dapet sudut pandang lain bagaimana mempertanyakan apa itu Normal.
Endingnya mengecewakan banget. Kayak lagi asik asik nonton film di bioskop terus mati lampu. Haha. Gak ngerti kenapa penulisnya membuat endingnya seperti itu. Makanya Ending dari Gadis Minimarket bikin buku ini jadi "Meh" menurutku
Kalau menurutmu gimana wi? Kesan sama Endingnya?
Tiwi: Menurutku secara keseluruhan, aku masih bisa menikmati buku ini dengan santai meskipun ya tersentil juga dengan embel-embel normal itu. Aku sendiri cenderung mengikuti arus kenormalan, tetapi tetap ingin punya pakem sendiir buat hidupku. Ya, bisa dibilang aku setengah-setengah dari Keiko dan Shiraha. Duh, jangan-jangan aku anak mereka? Hahaha.
Kesannya lebih ke arah pembaruan diri sih. Bahwa seharusnya kita nggak takut untuk jadi beda, kita nggak takut untuk dicap aneh hanya karena kita nggak melakukan apa yang orang lain lakukan. Itu sih.
Endingnya setuju sama kamu. Meh banget. Kayak sengaja digantung, tapi malah jadi, "Apaan sih ini?" Ya, tapi aku tetep bisa nangkep sih maksud si penulisnya. Keiko yang tadinya mau beranjak jadi pegawai full time, akhirnya tetep menjalani hidupnya sebagai gadis minimarket. Seolah ngasih tau ke kita kalau hidup ini kita sendiri yang nentuin mau ke arah mana jalannya, bukan orang lain.
Nah, baiklah. Sekian ghibah buku Gadis Minimarket bersama Fajar Abdurrahman. Thanks banget nih, Jar, udah mau diajak ghibah buku. Setidaknya buku ini bisa ngasih pencerahan buat kita yang lagi di fase quarter life crisis. Hahaha.
Mau ada kata penutup dari Fajar mungkin?
Fajar: Haha iya wi. Makasih udah ngajak buat masuk ke Ghibah buku. Sorry banget ya buat tiwi dan para pembaca kalau terlalu kaku atau serius banget pembahasannya. Aku gak bisa nyeleneh kalau lagi bahas sesuatu. Bawannya mau serius terus kayak presentasi depan kelas. Haha
Tiwi: Siaaap, nggak apa-apa kok. Justru asik pembahasannya jadi ada manfaatnya. Hehe. Sekali lagi terima kasih, Fajar. Semoga sukses dimana pun kamu berada, ya.
*ditutup dengan hamdalah dan tepuk tangan jutaan pembaca*
1 Comments
Pantes banyak yang bahas ini buku. Di Twitter memang pada ngomongin toh. Jika gue enggak ikut-ikutan baca buku ini ketika pembaca buku yang gue kenal pada mengulas dan diskusi, apakah gue termasuk enggak normal seperti Keiko? Seperti kasus, suatu buku banyak yang menghina, terus ada seseorang yang mencoba memuji, ataupun sebaliknya. Pasti hal semacam itu bakal aneh di mata mayoritas. Haha.
ReplyDeleteJarang keluar rumah atau nongkrong bersama teman sebaya aja dicap aneh sama lingkungan. Banyak sih hal-hal yang memaksa tiap orang buat mengikuti arus. Usia udah mendekati 30, belum nikah, diledek orang di sekitar. Kemungkinan besar bakal panik.
Si Fajar seolah-olah tertipu blurb. Hmm. Gue enggak pernah percaya sama blurb lagi sih. Cara paling aman ya lihat pratinjau Google halaman awal seandainya tersedia. Kalau 10 halaman tertarik, biasanya bakal tahan sampai kelar.
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?