Suatu hari di pelataran rumah, hujan turun sedikit demi sedikit. Ia berbisik di telinga dan sekujur tubuh merinding bukan main. Aku tidak terbiasa sedekat ini, tidak terbiasa pula menerima kata cinta dari lelaki. Aku tumbuh dari kesepian yang mulanya penuh tembok kokoh yang entah sejak kapan kubangun. Aku mencari-cari celah untuk mengintip ke luar dan menerka akan ada apa di luar sana.
Di dalam sini terlalu nyaman, sampai aku tak berani mengambil langkah terlalu jauh dari apa yang belum kuketahui. Satu-satunya hal yang mendebarkan yang kurasakan, juga kalimat penuh cinta yang kudapatkan hanya dari lingkaran terdalam di hidupku. Kau bisa sebut mereka sebagai keluarga, tetapi aku masih belum tahu apakah ini benar-benar nyata atau tidak.
Ia berbisik tepat di telingaku dan aku refleks menjauhkan diri. Bibir itu dekat sekali, meski terhalang kain kerudung di kepalaku. Sialan, perasaan macam apa ini?
"I love you."
Pernah suatu kali aku tidak percaya pada kata-kata itu sebab siapapun bisa dengan mudah berkata demikian. Tanpa effort, tanpa tindakan yang berarti. Namun, ia bagian lain dari yang pernah kutemui sebelumnya. Ia, satu dari sekian yang telah bertindak lebih dulu dibanding cuma sekadar kata-kata. Sampai detik ini sesungguhnya aku masih seringkali tidak percaya bahwa hari yang pernah aku inginkan akan datang.
---
"Kamu pasti tahu alasanku meneleponmu setiap hari, kan?"
"Ya, aku tahu. Dan ini langka buatku. Aku tidak pernah mengobrol dengan orang lain lewat telepon untuk waktu selama ini."
Aku tidak percaya. Kupikir, ia seperti lelaki kebanyakan yang mudah bergaul dengan banyak perempuan di luaran. Aku tidak percaya karena apa yang ia tampilkan saat itu memang begitu.
Aku tidak pernah ambil pusing. Setidaknya, ketika percobaanku tidak berhasil, aku tidak akan menunggu dan mengemis untuk ia tetap tinggal bersamaku. Aku akan tetap berada di garis aman dan melihat reaksi apa yang ia berikan setelah ucapanku malam itu. Selanjutnya, biar waktu yang menjawab apa yang akan terjadi pada kami berdua.
---
Suatu hari di kedai sate pada awal mula.
"Gue nggak pacaran lho tapi."
Aku nyaris tersedak es jeruk saat itu dan ingin langsung pulang. Sial, dia to the point sekali. Aku jadi mati kutu diskakmat begitu. Bukan tanpa maksud, aku bahkan bukan tanpa alasan bilang ingin pacaran dengan seseorang. Meski begitu, tujuanku ingin pacaran dulu tentu didasari untuk saling mengenal dan bertujuan ke arah pernikahan. Jika di awal tujuan itu tidak didapatkan, maka aku dengan sangat siap akan mundur saat itu juga.
Mendengar jawabannya saat itu aku cukup kaget dan berpikir apakah aku bisa tetap maju untuk memulai hal baru dengannya, sedangkan ia tidak ingin pacaran? Tapi langsung menikah pun tidak mungkin karena aku tidak kenal dia dan belum tahu seperti apa sifat dan sikapnya.
Akhirnya aku hanya menjawab, "Ya, bukan pacaran yang gimana-gimana. Maksudnya biar saling kenal aja dulu. Kan nggak mungkin langsung menikah juga."
Aku ingin sekali menoyor kepalaku saat itu karena merasa keGRan bicara begitu padahal belum tahu apakah ia mau denganku atau tidak. Aku cepat-cepat menyeruput es jerukku dan dalam jeda yang tidak sedikit, pesanan makanan kami datang.
Saat ia sibuk mengerjakan pekerjaan sisa dari kantor di tempat makan, aku bergeming dan melihatnya dengan seksama. Aku suka saat ia sedang fokus bekerja dan aku tidak suka mengganggu bahkan mengajaknya bicara saat ia sedang mengerjakan sesuatu.
"Hei, ngobrol dong. Diem aja."
"Ya, kan lagi kerja. Gue nggak mau ganggu."
"Gapapa, gue anaknya multitasking kok."
Gantian aku yang ingin menoyor kepalanya karena ia menyombongkan dirinya dengan terlalu. Berusaha aktif untuk menarik perhatian lawan bicara itu melelahkan. Aku tahu kadar interaksi sosialku minim sekali, ditambah aku selalu merasa tidak punya topik menarik untuk dibicarakan. Sial, menulis ini tiba-tiba aku teringat saat menemaninya makan kue di kantor.
Jam pulang kantor sebentar lagi, aku dan seorang teman pergi ke ruang makan untuk mengambil kue. Melihatnya lewat dan kueku nyaris habis, aku berbasa-basi untuk menyuruhnya makan kue. Ketika temanku sudah selesai aku menyuruhnya kembali ke ruangan duluan, sedangkan aku berdalih untuk menemani "si anak baru" makan kue di kantor. Dua menit pertama kami cuma diam dan makan kue masing-masing.
Sejujurnya aku tahu, ia tidak berniat makan kue, entah sudah makan sebelumnya atau memang tidak berminat. Tapi mendengar aku bilang, "Ini mau nemenin masnya makan kue," ia jadi mengambil kue dan duduk di depanku.
Rasanya seperti iseng-iseng berhadiah, sebab aku tak akan punya waktu lain untuk bisa membuka obrolan di dalam ruangan kami. Aku bukan tipe seperti itu, karena ya, aku malas untuk mengobrol jika terlalu banyak orang bersuara dalam satu ruangan. Aku lebih suka bicara secara privat dan momen ini harus aku ciptakan sendiri.
---
292 hari setelah pertemuan pertama, kami sudah tahu akan melangkah kemana. Mengingat masa lalu kadang membuatku malu, bahkan tanpa diingatkan kadang ia seringkali meledekku dengan kalimat-kalimat lucu yang ingin membuatku lekas menghilang.
"Memangnya aku se-bar-bar itu?"
"Iyalah hahaha. Tapi aku suka kok."
Menyebalkan sekali rasanya mendengar itu dari seseorang yang bahkan sadar kelakuanku kayak apa kalau sedang dalam mode mengejar. Tapi dalam waktu-waktu tertentu, aku bersyukur punya keberanian untuk menciptakan momen itu dengannya. Kalau saat itu tidak kuberanikan diri menyapa dan mengajaknya lebih dulu, mungkin hari ini aku masih dengan diriku sendiri.
Meski aku menyimpan banyak keraguan sebelumnya, setidaknya ia sudah membuktikan bahwa tindakannya melebihi kalimat singkatnya dalam teks pesan kami berdua. Setidaknya, waktu yang kami jalani sampai hari ini tidak terbuang sia-sia hanya dengan label pacaran. Kami punya tujuan bahkan sejak awal kami bicara berdua, sejak awal aku menyampaikan alasanku ingin dekat dengannya.
Setidaknya ia berlaku baik dan tidak membuat takut atau malu dengan menyambut sebelah tanganku dan memilih berjalan bersama-sama dengan segala apapun kekurangan dan kelebihan kami masing-masing.
Aku pengingat yang baik sekaligus pelupa untuk hal-hal kecil. Aku bisa mengingat baju apa yang kau kenakan di hari pertama masuk kerja, tapi aku bisa saja lupa apa tepatnya yang kuucapkan padamu entah di hari-hari saat kita sudah bersama.
Hari-hari kita masih panjang, semoga tetap sabar, tetap sayang dan cinta, tetap berusaha mewujudkan apa yang menjadi tujuan kita hari ini. Terima kasih banyak sudah mau memilihku sebagai teman sampai akhir hidupmu nanti. Selamat terjebak denganku yang suka random tiba-tiba, suka jail, dan suka melakukan hal-hal aneh. Anehnya seperti apa? Nanti kamu akan tahu. Sekarang belum waktunya. Tunggu tanggal mainnya, ya! Hahaha.
I love you!
4 Comments
mayang dwinta pernah bilang, “aku salut sama tiwi yang bisa blakblakan nulis perasaannya di blog.”
ReplyDeleteawalnya saya enggak terlalu ngerti apa yang dia maksud. sekarang baru paham. dan ya, memang sedikit barbar—in a good way!
Hahaha Mayang Dwinta mungkin bisa lebih blak-blakan dan membungkusnya dalam bentuk fiksi yang apik. Tidak seperti saya yang... terlalu apa adanya.
DeleteBarbar in a good way. Saya anggap itu pujian. Terima kasih!
PD juga cowok bilang bisa multitasking. Gue sewaktu lagi baca buku aja saking fokusnya, kalau tiba-tiba Nyokap manggil suka enggak kedengeran. Hahaha.
ReplyDeleteGue akhir-akhir ini kok malah enggak bisa ya curhat pengalaman yang manis-manis. Tiap kali lagi bahagia, malah susah nulis. Cukup nikmatin hari doang. Tapi semoga aja bisa kayak dulu, apa aja yang sekiranya menarik bakal diceritakan. Biar blog enggak sendu lagi dan tampak lebih ceria. XD
Hahaha dia pede karena kenyataannya gitu.
DeleteNah, gue biasanya juga nulis kalo ada yang sedih-sedih. Lancar banget. Sekarang sedang mengusahakan untuk nulis yang senang-senang juga. Supaya imbang nih isi blognya haha.
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?