Sebuket Mawar Merah
Oleh Afrianti Eka Pratiwi
Aku termenung menatapi langit yang makin lama kian kelabu. Tak ada sinar matahari yang biasanya menghangatkan sesore ini. Hanya angin kencang dengan sedikit rintik yang belum dihiraukan orang. Semua hanya menunggu untuk hujan datang lebih deras, baru mereka meneduh. Selagi masih bisa diterjang, kenapa tidak? Itu pasti pikiran mereka.
Jalan panjang yang kususuri membuatku makin tenggelam dalam pikiran, bingung. Tapi untuk apa semua pikiran itu? Bukankah tidak penting? Bukankah harusnya aku senang? Ah, rasanya semua itu memang tidak pernah berarti apa-apa. Bahkan aku sudah mengetahuinya sejak awal. Tapi, kenapa hal ini masih juga terasa mengejutkan untuk pikiranku yang sudah bisa menebaknya?
***
Rasa. Kembali dipertemukan tentang keadaan yang menyulitkan. Tentang sebuah pertanyaan dan pernyataan yang butuh jawaban. Aku tahu bahwa cinta itu mudah diucap, tapi sulit untuk melakukannya bila rasa itu tak pernah ada. Dan inilah yang kulakukan. Membuatnya tak pernah ada.
“Aku menyukaimu atas semua sikap dewasamu,” katanya.
Aku tertegun menatap layar ponselku yang dipenuhi kata-kata itu. Tiba-tiba saja aku merasa aneh. Aku menyukainya, tapi rasa itu tak pernah ada. Rasa suka itu hanya sebatas kagum, bukan untuk perasaan yang sesungguhnya.
“Kenapa?” hanya itu yang mampu aku balas setelah lama berpikir atas kemungkinan yang ada.
“Aku menyukaimu. Itu yang aku pikirkan saat ini.”
Aku terdiam semakin lama. Apa ini yang terbaik? Aku sangsi mendengar pernyataannya itu. Apa dia benar-benar serius? Atau hanya… pelarian? Ah, ini yang kutakutkan sejak awal. Selama ini aku mencoba menjadi teman yang baik. Menjadi pendengar setia saat hubungan dengan kekasihnya sedang di ujung tanduk. Di luar itu, aku tidak berharap apapun atas kandasnya hubungan mereka.
Maka, ketika ia datang dengan segala ucapan manis yang membuatku bingung, aku belum percaya. Terhitung beberapa minggu sejak ia putus, aku masih menjadi orang yang siap mendengarkan segala kisahnya. Memberikan pendapat tentang banyak hal. Aku mulai merasa nyaman, tapi dalam konteks teman untuk sharing. Tidak lebih tidak kurang.
Dan kalimat itu menjadi puncaknya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Menerimanya begitu saja? Mustahil. Karena aku terlalu memikirkan perasaan orang lain. Aku tidak ingin ia mengetahui bahwa di hatiku masih ada yang lain. Aku tidak ingin membuatnya tersakiti dengan hal itu. Tapi, dengan menolaknya sama saja menyakitinya secara langsung. Maka, keputusanku adalah meminta waktu untuk berpikir. Ia setuju.
***
Hari-hari berikutnya pikiranku makin tidak karuan. Aku tidak pernah mempersalahkan kata “Ya” atau “Tidak” yang akan kuucapkan. Tapi ini lebih kepada, apa alasanku mengatakan itu? Antara harus membohongi perasaan tapi menyakiti diriku, atau mengatakan kejujuran tetapi itu menyakiti dirinya. Semua serba salah.
Entah, mungkin aku sudah menemukan pencerahan. Menghindarinya adalah cara terbaik untukku. Alasanku untuk menolaknya secara halus. Karena aku tidak akan bisa membohongi perasaanku. Semua pesan-pesannya tidak pernah kubalas lagi. Dia mengeluh heran mendapati sikapku yang berubah. Tapi aku tidak peduli. Semakin aku membalas pesan-pesannya, maka perasaan di hatinya akan semakin tumbuh jelas. Sementara aku hanya memberinya harapan kosong. Tanpa mau membalas perasaannya. Hanya menambah rasa bersalahku padanya.
Ia akhirnya menyerah. Aku yakin ia tahu apa maksud diamku selama ini. Aku tidak pernah menjelaskan apapun. Tapi ia sudah tahu. Pesannya yang kubalas sesingkat mungkin, itu buktinya. Dan semuanya berakhir tanpa ada apapun. Semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya itu yang kuharapkan.
***
“Selamat ulang tahun. Semoga cita-citamu dapat tercapai.” Itu pesannya yang pertama setelah kejadian itu. Aku tidak pernah menghubunginya, pun dengan dirinya kepadaku. Kami total menghabisi waktu dengan urusan masing-masing. Dan itu membuatku sedikit lega. Karena aku tidak harus melakukan hal yang membuatku merasa bersalah sesudahnya.
Aku pikir sudah tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, termasuk perasaan itu. Tapi ada satu hal yang membuatku terkejut. Sebuket mawar merah.
“Siapa yang memberimu mawar itu, Lia?” Ia hanya tersenyum saat beberapa temanku menginterogasinya. Wajahnya bersemu merah. Aku penasaran, meskipun hanya penasaran biasa.
“Tapi jangan bilang-bilang, ya?” Lalu ia menyebut nama seorang lelaki. Ya, lelaki itu. Lelaki yang dua minggu lalu mengatakan pernyataan itu padaku. Lelaki yang tepat tengah malam mengirimkan pesan “selamat ulang tahun” kepadaku. Lelaki yang yang sama yang pernah aku kenal.
Ah, secepat itukah dia berlari dan memiliki rasa yang sama kepada orang lain? Aku merasa tertipu. Tidak sepantasnya aku merasa bersalah. Tidak seharusnya aku merasa takut untuk menolaknya sejak awal. Tidak sepatutnya aku merasa gelisah saat dihadapkan oleh pertanyaan itu. Jawabannya sudah jelas: TIDAK.
Sejak itu aku tahu. Aku hanya dijadikan pelarian perasaannya. Aku hanya dijadikannya tempat “pulang” saat kekasihnya mengabaikannya. Aku yakin, suatu saat ketika kekasihnya ingin kembali, pasti ia mau. Dan semuanya sudah jelas tanpa harus dijelaskan lagi.
Terima kasih untuk hari-hari itu. Semua pernyataan yang kuanggap bualan semata. Karena kupikir, ia tidak pernah serius dengan itu semua. Maaf, aku bukan tempat pelarian dan pelampiasan. Dan sebuket mawar merah itu sudah menjelaskan, betapa tidak pentingnya kata-kata itu. Kata-kata yang menyita waktuku untuk memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak pernah aku lakukan.#
Cileungsi, 14 April 2013
0 Comments
Apa tanggapan kamu setelah membaca tulisan ini?